Buku Harian Anton

Post a Comment


Saat kabar via email bahwa cerpen ini akan dimuat di Majalah Bravo, saya girang bukan kepalang. Ada dua alasan yang jadi penyebabnya. Pertama, karena saat itu cerpen anak karya saya masih sangat jarang dimuat di media nasional. Ke dua, karena majalah Bravo yang ada dalam naungan penerbit Erlangga ini punya peluang minim untuk bisa tembus dimuat di sana.

Sayangnya, kini majalah tersebut sudah tutup, jauh mendahului media-mdia anak nasional lain.

Seperti nasehat beberapa teman penulis lain, seorang penulis perlu mencermati karakter media yang akan dikirimi tulisan. Dan baru di belakang hari saya sadar, bahwa Majalah Bravo banyak memuat cerita yang bertema motivasi meraih cita-cita.

So, ini dia satu-satunya cerpen saya yang pernah dimuat di Majalah Bravo pada tahun 2011. Ceritanya tentang betapa segala kesuksesan sebetulnya diraih dengan hal yang tidak seenaknya. Selamat membaca…

**

“Aku pulang duluan ya!” pamit Anton pada Doni.

Doni melirik jam tangannya. Waktu pulang sekolahnya masih dua jam lagi.

 “Huh, enak sekali jadi Anton. Ia selalu diberi izin untuk bisa pulang lebih dulu!” gerutu Doni.

 “Pst, Don, bukunya Anton tertinggal tuh!” seru Kia yang duduk di belakang Doni sambil berbisik.

Doni melihat ke arah bawah meja milik Anton. Benar, ada buku milik Anton yang tertinggal di sana. Doni mengambil buku itu dan menyimpannya dalam tas.

Pikiran Doni kembali melamun tentang Anton. Temannya itu meski masih kelas lima SD, tetapi prestasinya di bidang sepak bola sangat banyak. Dan sudah sebulan ini, Anton harus bolak balik dari Lamongan menuju Surabaya karena bergabung di tim sepak bola provinsi untuk memersiapkan diri bertanding di tingkat nasional.

“Tapi, apa iya jadi harus selalu izin seperti itu?!” batin Doni iri.

Rasa iri Doni juga makin bertambah ketika ia ingat bagaimana para guru kerap memuji Anton karena selalu langganan mendapat rangking sepuluh besar. Doni tahu, Anton hampir tidak pernah mendapat nilai jelek saat ujian.

“Ah, pasti para guru itu telah curang dengan selalu memberi nilai bagus pada Anton!” pikiran buruk hinggap di otak Doni.

Sampai di rumah, Doni terlupa menelepon Anton jika ia membawa buku milik Anton. Doni baru teringat ketika sudah sore hari. Saat ia membongkar tasnya, barulah buku itu terlihat oleh Doni.

“Iya ya, ini kan bukunya Anton yang tadi tertinggal!” gumam Doni sambil memerhatikan buku bersampul merah yang mirip seperti buku harian.

Dalam hati, Doni penasaran dengan isi buku tersebut. Doni tahu, ia tidak boleh seenaknya membuka buku yang bukan miliknya. Namun karena begitu ingin tahu, Doni akhirnya membuka buku tersebut dan membaca isinya mulai dari halaman yang diberi pita pembatas buku.

Di buku itu, Doni jadi tahu bagaimana aktivitas Anton yang sebenarnya. Anton yang bercerita betapa bangganya ia bisa bergabung di tim provinsi. Anton yang kecapekan karena harus membagi waktu antara latihan dan belajar. Anton yang tetap semangat mengerjakan tugas sekolah di mobil sewaktu menuju Surabaya atau saat pulang ke Lamongan. Anton yang terkadang iri pada Doni karena bisa punya banyak waktu luang untuk bermain. Anton yang...

“Hah, jadi seperti ini ya aktivitas Anton yang sebenarnya?” seru Doni terkejut.

Dalam bayangannya, Doni merasa tidak sanggup jika harus menjadi seperti Anton. Pasti rasanya tidak enak karena tidak bisa memiliki waktu luang untuk bermain atau menonton tivi, pikir Doni.

“Ah, aku jadi malu karena telah berpikir yang tidak-tidak tentang Anton. Kalau begitu, pantas saja ia bisa berprestasi di sepak bola dan selalu jadi siswa yang mendapat rangking sepuluh besar di kelas. Ternyata Anton meraih itu semua dengan kerja keras!” cetus Doni yang kagum pada Anton.

Doni mengambil ponselnya dan mengirim pesan pada Anton.

“Ton, bukumu tadi tertinggal. Sekarang buku itu ada di aku,” tulis Doni.

Tak berapa lama, jawaban dari Anton terkirim ke ponsel Doni.

“Terima kasih. Tolong disimpan dulu ya.”


Doni berjanji, besok saat di sekolah, ia harus meminta maaf kepada Anton. Doni sadar, ia telah salah karena selama ini sudah iri pada Anton. Apalagi, ia selalu mengira jika Anton pasti mendapat nilai bagus karena guru-gurunya yang telah bersikap curang. Dan satu hal lagi, Doni juga harus meminta maaf karena telah membuka buku harian milik Anton tanpa seizin pemiliknya.

Related Posts

Post a Comment

Popular