Cerita Seru saat Perjalanan Mudik

Post a Comment

Sudah 10 tahun saya tak pernah lagi merasakan yang namanya mudik. Alasannya karena sudah bukan perantau lagi, sudah menetap di Lamongan lagi, orang tua saya dan suami juga tinggalnya tidak berjauhan dari rumah kami.

Kadang kangen juga sama yang namanya gedabrukan pas mudik. Pasalnya, budaya mudik ini sudah saya kenal sejak kecil, lalu berlangsung lagi saat menjadi perantau.

Kata orang, mudik itu melelahkan, repot, dan banyak cerita nggak enak lainnya. Tapi bagi saya yang suka perjalanan, proses mudik itu selalu punya cerita menyenangkan yang tak terlupakan.


Terkatung-katung di Pulogadung

Dari sekian macam cerita mudik, mungkin subjudul ini jadi cerita kurang enak nomor dua. Kalau cerita yang paling kurang enak buat saya ya sub judul setelah ini.

Jadi zaman mudik tahun 80 atau 90-an, yang namanya mudik itu ya harus pesan tiket dulu ke terminal Pulogadung. Atau, ayah ibu langsung keroyokan pas ada bus datang ke terminal.

Waktu itu saya ingat banget perjuangan ayah dan ibu setiap mudik. Meski bawa dua anak kecil, saya dan adik, mereka struggling rebutan kursi di bus Mawar, bus langganan kami.

Naasnya suatu ketika, bus langganan kami, bus Mawar, sudah nggak bisa ayah ibu dapatkan. 

Akhirnya ayah ibu nekat naik bus yang oper bolak-balik dari satu kota ke kota lain. Kalau perjalanan biasanya satu hari satu malam dari Jakarta ke Lamongan, waktu itu kami tempuh sampai hampir dua hari.

Meski demikian, saya sama adik nggak pernah ngeluh capek. Paling-paling nyengir pas ngerasa kepanasan yang busnya nggak ada AC-nya.


Trauma Naik Kereta

Dari dulu saya kurang suka jika diajak mudik pakai kereta api. Padahal kan enak ya. Bisa pesan tiket dan pasti dapat tempat duduk.

Tapi saya selalu bosan kalau diminta naik kereta api. Pemandangannya melulu sawah dan tiang listrik. Saya nggak bisa eksplorasi kehidupan dan budaya manusia seperti rumah, aktivitas kendaraan di jalan, dan yang lainnya.

Itu alasan pertamanya. Alasan ke dua, karena beberapa kali saya selalu dipelototi orang saat sedang melihat ke belakang bangku. 

Bayangkan saja, anak kecil, nggak salah apa-apa, eh, kok dipelototi. Dan herannya, hampir selalu terjadi hal ini. 

Akhirnya ayah ibu mengalah. Mereka selalu memilih naik bus setiap pulang kampung ke Jogja atau Lamongan.


Banyak Belajar saat Ayah Bawa Mobil Sendiri

Mudik yang paling saya suka waktu kecil adalah saat ayah saya akhirnya bawa mobil sendiri untuk mudik dari Bekasi.

Tahun 80-an, dan belum ada GPS. Jadilah modalnya ayah adalah melihat rambu penunjuk jalan, atau mengikuti bus yang kami tahu, arahnya juga ke Surabaya.

Lucunya itu kalau pas yang kami ikuti adalah bus Lorena. Bus ini memang sejak dulu terkenal jagoannya ngebut. 

Saat kami ketinggalan jejak busnya, jadilah ayah atau ibu harus bertanya arah ke orang di pinggir jalan.

Yang paling saya suka lagi saat mudik naik mobil sendiri adalah saya jadi banyak belajar. Misalnya dengan menghafal plat nomor kendaraan. 

Atau saat perjalanan balik, saya menjadi GPS ayah karena saya paling hafal arah jalan.


Menyesuaikan Jadwal Night Rider

Satu hal unik saat dulu mudik adalah, saya dan adik jarang mau kalau diajak mudik ke Jogja, daerah tempat asal ayah.

Alasannya, rumah mbah di Jogja itu sangat desa sekali kondisinya. Selain itu, kami nggak bisa nonton tv karena tidak ada di rumah mbah.

Sedangkan saat bisa menginap ke rumah bulek yang di Jogja-nya, adik saya suka ngamuk karena tidak bisa nonton Night Rider sesuai episode lanjutan yang ada di RCTI! Hahaha…

Anak 80-an pasti tahu kan film mobil pintar yang dikendarai David Hasselhoff? Nah entah kenapa, tv di Jogja itu tidak menayangkan acara ini.

Sedangkan saat mudik ke Lamongan, yang itu cuma ada SCTV, film Night Rider-nya mundur satu episode. Paling nggak lumayan lah kemajuan episodenya dibandingkan TV di Jogja.

Mungkin kalau diingat, astaga, ayah saya sabar banget ya. Rela jarang pulang ke Jogja karena anak-anaknya lebih ngebelain Night Rider!


Mencicil Tiket Pesawat Setahun Sebelumnya

Lanjut, sekarang cerita saya waktu sudah merantau di Batam. Bisa dibilang, tiket pesawat Surabaya-Batam apalagi pulang pergi, harganya cukup mahal. 

Gimana enggak. Lama perjalanannya saja dua jam. Pantaslah kalau harga tiketnya mahal.

Jadi urusan mudik pas lebaran itu adalah momen yang langka dan mahal buat saya. Juga buat teman-teman saya asal Jawa. 

Sudahlah tiketnya mahal, yang namanya kerja jadi reporter juga mana ada cerita bisa libur kerja pas lebaran?

Akhirnya saat lebaran, saya dan teman-teman memilih liburan ke Singapura. Lha wong biaya ke Singapura lebih murah daripada mudik ke Jawa.

Namun akhirnya saya merasakan mudik saat lebaran ketika sudah pindah kerja jadi dosen. Bersyukur banget bisa punya jatah libur lebaran.

Tapi tetap urusan tiket yang mahal ini jadi masalah. Untungnya, saya punya teman Tionghoa, mantan reporter, yang punya usaha travel. Teman saya yang punya nama Generius ini baik banget, membolehkan saya dan teman-teman untuk booking tiket setahun sebelum lebaran, dan dialah yang ngebayarin dulu.

Jadinya, saya mencicil uang tiket ke Generius setiap habis gajian. Jasamu tak kan kulupakan lah Gen!


Mudik Setelah Operasi Miom

Kalau cerita yang ini adalah saat saya mudik dari Batam ke Lamongan, lalu sekeluarga mudik ke Jogja. Jadi ceritanya ayah ibu sudah tidak lagi tinggal di Bekasi.

Kami mudik ke Jogja dengan menyewa mobil. Tapi pernah suatu ketika, saya ikut mudik dalam operasi usai pengangkatan miom atau tumor di dada.

Masya Allah, rasanya sakit nyut-nyut banget di jalan. Apalagi kalau kena goncangan pas kendaraan lewat jalan yang kurang rata.


Hikmah Citilink yang Tutup Rute Surabaya-Banjarmasin

Terakhir, kenangan tak terlupakan bagi saya adalah saat merantau di Kalimantan Selatan. Alhamdulillah, biaya tiket pulang Banjarmasin-Surabaya ditanggung separuh oleh pihak sekolah tempat saya mengajar.

Cuma suatu ketika, terjadi masalah saat saya sudah booking tiket Citilink. Eh, mendekati hari H mudik, Citilink-nya tutup rute.

Jadilah saya sempat ngomel-ngomel. Sudahlah pesan tiket jauh hari biar murah, eh, pas mendekati lebaran jadi harus berburu tiket lagi.

Tapi ada hikmahnya. Karena ternyata, saya dapat pesawat Garuda yang waktu itu saya pikir biaya lebih mahal, eh, ternyata hanya beda tipis.

Kalau nggak gara-gara Citilink tutup rute, saya nggak bakal dikasih Allah rezeki bisa ngerasain naik pesawat Garuda.


Itulah beberapa cerita saya tentang pengalaman mudik, yang di bayangan saya, selalu terasa menyenangkan. Bagaimana nih dengan teman-teman yang punya kebiasaan atau tradisi mudik setiap lebaran? Bagi ceritanya juga yuk!




Related Posts

Post a Comment

Popular