“Tolonglah Bu, kalau bisa anak ini juga harus
naik kelas,” pinta kepala sekolah waktu itu lewat telepon.
Saya sampai harus menarik dan menghembuskan
napas dengan berat, seberat keharusan saya mengiyakan permintaan kepala
sekolah.
Buat saya justru tidak adil kalau saya
menyatakan Gilang, anak yang sedang saya dan kepala sekolah bicarakan itu,
untuk bisa naik kelas. Mana bisa saya tidak peduli pada rentetan nilai murid
yang saya ampu tersebut, yang sangat banyak tidak memenuhi standar KKM di
berbagai mata pelajaran.
Akhirnya pembicaraan telepon itu berakhir dengan
pemintaan saya agar masalah ini diangkat saja ke rapat dewan guru. Pikir saya,
memang sayalah wali kelas yang mengolah semua nilai dari guru mata pelajaran
lain. Tapi naik tidaknya Gilang seharusnya juga tergantung dari para rekan
guru.
Di senja itu, saya menggulung memori tentang
Gilang, yang saya sembunyikan nama aslinya di tulisan ini. Gilang adalah anak
dengan IQ paling tinggi di kelas yang saya pegang waktu itu.
Ada sebuah keistimewaan Gilang yang paling
saya ingat sampai sekarang. Dulu jika saya sedang menerangkan di kelas, Gilang
ini adalah siswa yang masuk dalam barisan suka terlihat mengantuk hingga
mengambil posisi membenamkan kepalanya dalam lipatan tangan di atas meja.
Tapi jika usai menerangkan lalu saya mengetes
dengan pertanyaan untuk mengukur daya serap siswa, herannya, hampir tidak ada
satu pun murid yang bisa menjawab. Baik itu yang terlihat tekun mencatat, terus
memasang mata perhatian, hingga yang sengaja memajukan meja katanya dengan niat
agar bisa menangkap materi, nyatanya tidak bisa.
Kembali saya mengajukan pertanyaan di kelas.
Dan tahukah siapa yang akhirnya bisa menjawab? Gilang! Dengan ekspresi masih
terpasang wajah mengantuk dan mata yang kuyu itu, nyatanya justru dialah yang
bisa mengulang materi yang sudah saya sampaikan.
Berkali-kali itu dan itu yang saya jumpai.
Dan modalnya Gilang di kelas, kerap hanya pasang telinga. Tanpa mencatat, pun
tidak memasang wajah perhatian tanda ia memang menyimak pelajaran.
Tapi semua kecerdasan Gilang sepertinya
menguap saat ujian. Pertanyaan yang sama pernah saya lontarkan di kelas, bisa
tidak ia jawab dengan benar. Ditambah lagi seringnya ia tidak memperhatikan
kewajiban mengumpulkan tugas.
Gilang sering membuat saya bingung saat itu.
Apakah ada yang salah pada cara belajarnya, motivasinya yang rendah, atau apa?
Selama satu semester saya terus menerka di
mana kunci untuk menggerakkan Gilang yang di lembaran IQ memiliki angka 114. Tapi
hingga penghujung semester, saya gagal.
Hasil Tes IQ Anak yang tak Sejalan dengan Nilai Akademik
Beberapa tahun yang lalu, saya berstatus guru
ekonomi di sebuah sekolah asrama. Biasanya untuk urusan akademik dari siswa
yang saya ampu kelasnya, saya hobi sekali membuat analisa tentang karakter
siswa dari berbagai sudut pandang.
Salah satu sisi analisa siswa yang coba saya
kumpulkan adalah hasil tes IQ. Dan seringnya saya jumpai, tidak 100 persen
hasil tes IQ itu sejalan dengan prestasi siswa di kelas.
Ada siswa yang hasil tes IQ-nya di atas 110,
tapi sering nilainya di bawah temannya yang memiliki IQ kisaran 105 hingga 110.
Sedikit siswa yang mengalami hal itu adalah Gilang yang tadi sudah saya
ceritakan.
Gara-gara penasaran dengan hal ini, saya pun
sampai membuat dasar analisa dan evaluasi lain untuk mengetahui karakter tiap
siswa. Mulai dari zodiak, golongan darah, sampai membuat tes karakter sendiri
dengan pertimbangan tertentu pun saya coba.
Jujur, semuanya itu cukup menyita waktu,
pikiran, dan perhatian.
Sebetulnya bisa saja saya memilih menjalani
peran sebagai wali kelas, hanya mengumpulkan niai siswa dari guru mata
pelajaran lain, hingga mengolahnya menjadi nilai rapot. Tapi ada rasa tidak
tega yang saya rasakan jika harus menutup mata dari kenyataan anak-anak yang
kesulitan di bidang akademik.
Apalagi, sekolah itu adalah sekolah asrama.
Keberadaan guru sebagai wali kelas pada akhirnya sekaligus sebagai penyambung
orang tua yang tidak bisa mereka jumpai setiap hari. Jika mereka tidak bisa
mengadukan kesulitan belajar mereka, akhirnya siapa yang bisa membantu?
Segala kondisi siswa terutama mereka yang
kurang bagus akademiknya, biasanya saya komunikasikan saat para orang tua
datang untuk mengambil laporan nilai anaknya secara berkala.
Dari sekian orang tua yang saya ajak diskusi
tentang kondisi anak, mungkin hanya sekitar tiga persen yang sangat paham dan
bisa memberi masukan kembali pada saya tentang karakter anaknya.
Kondisi ini tentu sangat tidak baik. Faktanya
selain kondisi sedikitnya orang tua yang tahu karakter anaknya sendiri, hanya
ada ada segelintir anak yang tahu karakternya dan bisa mengarahkan dirinya
harus belajar dengan cara apa. Sisanya, sangat tergantung pada guru BK atau
guru lain yang mau peduli membantu anak untuk menemukan cara belajar mereka di
sekolah.
Perlunya Guru dan Orang Tua Tahu Karakter Kecerdasan Anak
Pengalaman menjadi guru yang pernah saya
alami itu membuat saya sadar akan banyak hal seputar karakter kecerdasan anak.
Tentang IQ yang bisa tidak berkorelasi dengan prestasi akademik, pun perlunya
orang tua dan guru paham tentang karekter kecerdasan anak.
Saat sekarang saya sudah memiliki seorang
anak berusia empat tahun, rasanya hampir tiap hari saya memantau apa dan
bagaimana karakter kecerdasannya. Jika sebuah metode tidak berhasil atau
berhasil, selalu saya evalusi sebagai bahan pertimbangan ke depan tentang apa
yang memang seharusnya perlu ia lakukan dalam berproses.
Si kecil sedang beraktivitas bersama ayahnya |
Tapi semua usaha ini rasanya seperti berjalan
dalam kegelapan dengan modal sebuah tongkat. Segalanya hanya bisa saya raba,
perlu ada uji coba.
Dan kerap saya berpikir, andai saja saya bisa
tahu apa dan bagaimana karakter yang sesungguhnya dari si kecil. Agar ke
depannya ia bisa berproses di jalan yang memang seharusnya.
Serta tidak mengalami seperti apa yang pernah
saya temukan pada Gilang, anak yang dinyatakan cerdas namun ia dan siapapun
sulit untuk menolong dalam berproses di sekolah.
AJT CogTest, Tes Kecerdasan yang Bisa Mengidentifikasi Cara Belajar Anak
Apa yang saya rasakan tentang angka tes IQ biasa
yang bisa tidak berhubungan dengan prestasi akademis inilah rupanya yang juga
terbaca oleh PT Melintas Cakrawala Indonesia (PT MCI). Sehingga perusahaan ini
lantas menawarkan sebuah tes kecerdasan yang dikembangkan dengan norma
Indonesia.
Nama tes itu adalah #AJTCogTest. Tes ini dirancang untuk siswa Indonesia yang berusia
mulai dari lima hingga 18 tahun.
Keberadaan AJT CogTest sendiri sudah melewati
hasil penelitian yang dilakukan selama lebih dari empat tahun terhadap hampir
lima ribu siswa dari enam provinsi di Jawa.
Untuk menghasilkan AJT CogTest, PT MCI pun
sampai bekerja sama dengan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan
Kevin McGrew. Ia adalah konsultan proyek, ahli dari teori CHC dan Co-Author
dari Woodcock-Johnson III & IV.
Tak hanya itu. Tes
yang dikembangkan berdasarkan teori Cattell – Horn – Carroll atau CHC Theory
sebagai teori kecerdasan termutakhir ini pun telah melewati uji coba. Ada 10
sekolah terkemuka se-Jabotabek yang menjadi tempat uji coba tersebut.
AJT CogTest sudah diujicobakan di beberapa sekolah |
Yang membedakan AJT
CogTest dengan tes IQ biasa adalah bahwa tes kognitif atau keerdasan lainnya
adalah sifatnya yang lebih akurat serta komprehensif dalam mengidentifikasi kekuatan serta kelemahan belajar anak.
Dengan AJT CogTest,
orang tua atau guru bisa tahu karakter kecerdasan anak dari delapan bidang
kecerdasan yang ada. Sehingga harapannya, kita bisa paham cara belajar yang
terbaik untuk anak bersarkan domain kognitifnya. Orang tua dan guru akhirnya
juga bisa mengoptimalkan potensi yang dimiliki anak.
Hal lain yang
pembeda adalah bahwa kebanyakan alat tes IQ yang banyak dipakai di Indonesia merupakan saduran dari luar negeri sehingga belum
sesuai norma yang ada di Indonesia. Sementara
AJT CogTest merupakan alat tes kognitif yang
dirancang psikolog dan ahli psikometri Indonesia maupun internasional untuk
anak Indonesia.
Ada dua jenis paket tes kognitif AJT:
1. AJT CogTest Full Scale yang mengidentifikasi delapan
kemampuan kognitif lengkap dengan menampilkan profil lengkap kekuatan dan kebutuhan
belajar anak. Biayanya Rp760.000.
2. AJT CogTest Comprehensive bagi orang anak yang
memerlukan data lebih terperinci
untuk dianalisis dengan keberadaan psikolog yang
akan merekomendasikan tambahan
tes. Biayanya Rp1.200.000.
Hasil dari AJT CogTest nantinya akan dikirimkan berupa softcopy melalui surat elektronik (email) dalam waktu 7 sampai dengan 14
hari kerja setelah tes dilakukan.
Untuk tenaga psikolog
yang terlibat dalam AJT CogTest sudah mengikuti pelatihan dan disertifikasi PT MCI. Jadi meski
mereka terlihat masih muda, namun kemampuan mereka tidak bisa diragukan.
Keterangan lebih
lanjut tentang AJT CogTest bisa dilihat di sini ya:
Instagram:
@melintascakrawalaid
WhatsApp Customer
Services: 087883258354
Menurut saya
sendiri, keberadaan tes ini sangat penting dan ada baiknya dilakukan sedini
mungkin saat anak berusia lima tahun. Karena nantinya, orang ta maupun guru
bisa lebih mengarahkan anak baik itu kemampuan atau potensinya, maupun
bagaimana anak harus berproses dalam belajar.
#YukKenaliAnakKita dengan mengajak mereka mengikuti #TesKognitifAJT .
Dan pertanyaanku apakah GIlang akhirnya dinaikkan atau tidak mba?setiap anak punya gaya yang berbeda dalam belajar yah jadi penting sekali baik guru maupun ortu tahu karaketr anaknya
ReplyDeleteaku penasaran pengen coba AJTCogtes ini mba
Wah menarik ini..Lalu AJT Cogtest ini kalau pribadi caranya gimana mbak..apakah kita mengunjungi tempatnya atau bagaimana?
ReplyDeleteHmm... Sebentar lagi Salfa 5 tahun.
ReplyDeleteRasanya saya tertarik dengan test ini supaya saya tidak "memaksa" dia melakukan apa yang seharusnya membuatnya tidak nyaman...
Anak kedua kalo mau ikut tes ini masih nunggu 3,5 tahun lagi. Anak pertama saya Oktober nanti usianya 17 tahun, apakah masih relevan jika ikutan tes ini mengingat jatahnya tinggal 1 tahun saja?
ReplyDeleteTernyata tidak semua anak yang memiliki IQ tinggi termasuk anak yang memiliki nilai akedemis yang tinggi ya. Noted nih Mba semoga saya bisa menyeimbangkan IQ anak saya dengan minat belajarnya :)
ReplyDeleteAku harus coba AJT Cogtest ini untuk anak bungsuku. Thanks infonya mbak :)
ReplyDeleteBener juga ya mba, nyatanya siswa dengan IQ yg tinggi sekalipun tidak menjamin keberhasilan akademiknya. Bisa jadi, memang dia akan berkembang pada bidang lain yg dia minati. Saya sendiri sadar, bahwa tiap anak punya cara masing-masing untuk mengukur kemampuannya tinggal kita sebagai guru dan ortu yg harus bertindak sebagai support system didalamnya, cmiiw
ReplyDeleteWaaoooo ternyata IQ tinggi juga tidak menjamin anak mendapatkan nilai bagus di semua pelajaran ya, secaraaaa.. mana ada yang sempurna :)
ReplyDeleteNoted banget nih buat saya untuk mencobakan test ini ke anak saya, biar bisa lebih diarahkan, dan dengan gitu kita bisa mengenali anak kita dan mengarahkannya dengan baik :)
Wah ternyata AJT CogTest, dari PT MCI sudah bekerja sama dengan Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Kevin McGrew luar biasa. terima kasih kakak informasinya
ReplyDeleteIdem ma Mbak Herva nih, Gilang jadi naik kelas gak waktu itu? Keputusan para guru gimana tuh Mbak saat rapat? Tapi kayaknya naik yaa, kan judulnya hampir tidak naik.
ReplyDeletePenasaran jg ingin tahu kemampuan Kakak nih. Coba AJT ada disini juga, pengen deh coba test ini ke anak-anak nantinya.
Bener ini karena kejadian di anaknya temanku, IQ dia lumayan sekali tapi akademiknya kurang. Sampai temanku dipanggil sekolah dan duduk bersama untuk ngobrolin tentang akademik anaknya.
ReplyDeleteAnak cerdas kadang malah bosenan ya di kelas. Gilang masih mending cuma tidur. Kadang ada yang jadi troublemaker. Beruntunglah murid2 yang punya guru pengertian dan berwawasan luas :)
ReplyDelete