Membentuk Emosi Anak

Post a Comment


Melihat anak bisa bermain dengan teman-temannya memang melegakan hati. Namun bagaimana jika anak menunjukkan sikap yang kurang menyenangkan di depan teman-temannya. Kalau tidak sering mau menangnya sendiri misalnya dalam berebut mainan, atau justru malah gampang menangis karena kalah bermain.

Bisakah akhirnya kita berpikir, sebetulnya apakah yang terjadi pada buah hati kita? Bisa jadi, mungkin orang tua pun harus berpikir, adakah yang salah pada penerapan pendidikan yang kita berlakukan pada buah hati kita. Karena dari hasil sebuah penelitian mengatakan, bahwa agresi psikologis bisa membuat anak menjadi sulit beradaptasi atau bahkan berprilaku buruk karena berbagai faktor.

Satu diantaranya, bentuk penerapan disiplin yang terlalu keras pada anak. Bila ini dialami oleh anak, bisa berefek pada sulitnya mereka untuk beradaptasi atau bahkan berujung pada berprilaku buruk. Disiplin terlalu keras dapat mempengaruhi mental anak di masa yang akan datang.

Menurut survei, membentak dan mengancam adalah bentuk paling umum dari agresi yang dilakukan orang tua. Dibandingkan tindakan yang lebih ekstrim lagi, seperti mengancam, memaki, dan memanggil dengan kasar dengan panggilan bodoh, malas dan sebagainya, maka membentak memang paling banyak dilakukan.

Tindakan ini membawa efek psikologis jangka panjang bagi sang anak, walaupun secara hukum belum bisa disebut kekerasan terhadap anak. Tetapi memang dampaknya tidak langsung terlihat dan biasanya baru ketahuan setelah mereka semakin dewasa.

Agresi psikologis itu bisa membuat anak menjadi sulit beradaptasi atau bahkan berperilaku buruk, karena berbagai faktor. Misalnya, menjadi kurang percaya diri, atau sebaliknya, menjadi pemberontak.

Tetapi yang paling dikhawatirkan adalah kalau mereka melakukan hal yang sama terhadap anak mereka kelak. Padahal kalau secara psikologis, kelakukan anak yang salah seharusnya diperbaiki, dan bukan dibentak-bentak dan dimarahi.


Rasa Empati pun Dapat Berkurang

Dari sebuah penelitian, bahwa ibu yang menerapkan disiplin dan sistem hukuman yang berlebihan, yang tidak berusaha berkomunikasi, memberikan penjelasan, pengertian dan menerapkan peraturan-peraturan yang konsisten, dan yang secara keterlaluan memarahi anak-anak mereka ataupun menunjukkan kekecewaan mereka terhadap si anak cenderung menghalangi perkembangan prasosial si anak.

Orang tua yang menggunakan hukuman keras sebagai bagian dari disiplin dalam mendidik anak mereka memiliki kemungkinan untuk menyebabkan masalah yang lebih dari sekedar hubungan orangtua-anak yang kurang mesra.

Penelitian tersebut juga menyimpulkan anak-anak mengartikan perilaku keras tersebut sebagai tidak adanya kasih sayang dari orang tua mereka. Kebalikannya, para ibu yang bersikap hangat, menggunakan penjelasan dan tidak mengkitalkan hukuman keras dalam mendisiplinkan anak-anak, mereka akan cenderung menumbuhkan rasa empati dalam diri anak-anak mereka.

Untuk mengukur kadar rasa empati, para peneliti melihat bagaimana anak-anak tersebut bereaksi terhadap sandiwara dimana seorang peneliti wanita atau ibu dari si anak mengalami kecelakaan kaki. Si orang dewasa yang mengalami kecelakaan meringis, mengekspresikan rasa sakitnya secara verbal dan menggosok-gosok tempat yang sakit.

Sedangkan pada usia anak pra sekolah sekitar usia 4 sampai 5 tahun, anak-anak yang agresif dan perusuh menunjukkan rasa peduli yang sama dengan teman-teman mereka. Beberapa tahun kemudian, anak-anak dengan masalah perilaku baru menunjukkan kepedulian yang kurang terhadap orang dewasa yang terluka. Pada usia mendekati 7 tahun, mayoritas dari anak-anak bermasalah ini telah kehilangan hampir seluruh dari rasa peduli mereka.

Lebih tragis lagi, anak-anak ini juga dideskripsikan sebagai pribadi yang antisosial oleh guru mereka, dan diri mereka sendiri. Anak-anak yang disebut agresif menunjukkan ketidakpedulian mereka terhadap sesama melalui kemarahan, kekerasan, dan menertawakan ketidakberuntungan orang lain, khususnya terhadap ibu mereka. Para peneliti pun mengatakan bahwa respons ini adalah reaksi terhadap gaya asuh ibu-ibu mereka.

Anak-anak laki-laki tersebut cenderung mengalami kesakitan secara emosionil dan, kemungkinan, fisik, dalam hubungan mereka dengan ibu mereka. Kemarahan mereka dan ketidakacuhan mereka pada saat ibu mereka membutuhkan pertolongan kemungkinan merupakan usaha mereka untuk memberikan jarak atau mengurangi rasa sakit yang mereka rasakan dalam interaksi dengan ibu mereka.

Para peneliti memperhatikan bahwa anak-anak pra sekolah dengan masalah perilaku menjadi berkurang sikap agresifnya jika mereka diajarkan untuk peduli terhadap sesama. Menanamkan rasa kepedulian kepada anak-anak adalah cara yang baik untuk menghilangkan masalah perilaku pada anak-anak yang cenderung agresif atau perusuh pada usia dini, demikian peneliti menyimpulkan.


Orang Tua Tetap Pegang Kendali

Sedang bersantai bersama si kecil, tiba-tiba ia merengek untuk minta dibelikan barang yang menurut Kita tidak pantas untuk mereka. Jika ia langsung menurut setelah mendengar penjelasan kita, hati kita pun bisa langsung lega.

Akan tetapi jika ia justru makin merengek, ngambek, marah, atau berteriak-teriak minta pulang, berguling-guling di bawah, memukul, bahkan sampai melempar apa saja yang ada di sekitarnya. Kita pun bisa jadi kebingungan dibuatnya.

Menurut banyak ahli perkembangan dan psikolog anak, hal ini sering terjadi karena anak mengalami frustasi dengan keadaannya sedangkan dia tidak mampu mengungkapkan perasaannya dengan kata-kata atau ekspresi yang diinginkannya. Hal ini pun sering dialami oleh anak usia 2 sampai 3 tahun. 

Ini karena anak usia tersebut biasanya sudah mulai mengerti banyak hal dari yang didengar, dilihat maupun dialaminya, tetapi kemampuan bahasa atau berbicaranya masih sangat terbatas. Lantas apa yang bisa dilakukan oleh kita sebagai orang tua?

Pertama, tidak usah kita ikut-ikutan marah. Karena ketika anak kita sedang mengalami ledakan emosi, baik dengan teriakan maupun tindakan fisik lainnya, dia tidak akan bisa menerima alasan atau bujukan, tetapi justru terhadap apapun yang kita lakukan anak akan merespons secara negatif.

Di dalam kondisi tersebut, anak sedang merasa bahwa kita telah mengabaikannya, dan semakin membuat anak merasa ketakutan dengan apa yag terjadi.

Anak akan merasa lebih tenang jika kita tetap berada di dekatnya. Jika memungkinkan, gendong atau peluk anak kita sehingga dia akan lebih cepat menenangkan diri.

Yang kedua, kita sebagai orangtua harus tetap yang memegang kendali. Jangan mengikuti permintaan anak yang tidak realistik atau tidak bisa kita terima hanya untuk menghindari ledakan emosi anak. Hal ini memang sering terjadi di tempat-tempat umum seperti mall, dimana anak meminta sesuatu namun tidak kita izinkan.

Jadi, jika memang anak meminta sesuatu yang di luar toleransi, kita harus tegas mengatakan tidak. Jika anak menjadi marah besar dan mulai memukul ataupun tindakan lain yang membahayakan, bawalah dia ke tempat yang lebih aman hingga anak menjadi tenang.


Selama anak belum tenang, jangan memberikan nasehat atas tindakannya, tetapi fokuskan hanya untuk menenangkan dirinya. Tentunya tanpa emosi ataupun bernada memarahinya. 

Related Posts

Post a Comment

Popular