Sebetulnya cerita ini masih sepaket ide
dengan cerpen Cita-cita Qisia yang
pernah saya publish di blog ini beberapa waktu yang lalu. Tentang seorang anak
perempuan yang orangtuanya dosen di Malang. Cuma kali ini, tokohnya saya buat berbeda
namanya.
Cerita yang pernah dimuat di Majalah Girls
beberapa tahun yang lalu ini bercerita tentang seorang anak yang iri dengan
temannya yang lebih disuka anak-anak lain. Selain itu, ada nilai-nilai seperti
entrepreneur dan berpikir positif yang bisa ditiru oleh anak-anak.
***
Klapertart
Sahnaz
Faras tidak percaya dengan apa yang dilihatnya
di Minggu pagi itu. Beberapa meter dari tempatnya berdiri, ada Sahnaz, teman
sekolahnya yang sedang berjualan di pasar Minggu pagi yang ada di Jalan Semeru.
“Bukannya dia anak dosen yang katanya habis
sekolah di Jerman? Anak dosen kok jualan di emperan?” batin Faras heran.
Sejenak Faras mengingat-ingat dan lalu
mengangguk mantap. Faras ingat betul itu karena ia sempat iri dengan
cerita-cerita Sahnaz selama hidup di Jerman. Sahnaz yang beberapa lalu menjadi
anak baru di sekolahnya banyak memikat hati teman-temannya dengan
cerita-ceritanya. Ya, siapa sih yang tidak mau merasakan hidup setahunan lebih
di Jerman, bisa bersekolah di sana, dan banyak mengujungi tempat mengasyikkan
selama di sana. Dan yang lebih membuat Faras iri, Sahnaz telah membuatnya
tersingkir dari teman-temannya. Banyak temannya yang tidak lagi tertarik dengan
cerita-ceritanya saat tampil memainkan biola di berbagai tempat serta berbagai
prestasinya di tingkat nasional bahkan internasional.
Kembali Faras terpaku dan ragu untuk terus
melangkah. Padahal ia ingin sekali ke arah penjual yang ada di dekat tempat
Sahnaz berjualan saat ini. Di situ, biasanya ada orang berjualan buah kering
yang menjadi langganannya.
“Uh, nanti kalau aku lewat situ, pasti aku
akan dipanggilnya. Terus, aku disuruh beli barang dagangannya lagi. Ih,
malu-maluin saja!” gerutu Faras.
Tiba-tiba sekejap saja Faras terkejut karena
rupanya Sahnaz menyadari ada orang yang sedang memerhatikannya. Faras buru-buru
mengalihkan tatapannya saat pandangan mata Sahnaz beradu dengan tatapan matanya
Faras. Tak menunggu hitungan detik, Faras langsung bergegas pergi. Ia sempat
mendengar suara Sahnaz yang memanggil-manggil namanya. Tapi Faras pura-pura
tidak mendengar.
Keesokan paginya di sekolah, Faras kembali
melihat keriuhan teman-temannya yang berkumpul di dekat Sahnaz.
“Ah, lagi-lagi si tukang cerita itu pasti
sedang mengobral cerita,” gerutu Faras sendirian.
Sebuah tepukan di bahu yang dirasanya
tiba-tiba membuat Faras terkejut.
“Ras, kamu kemarin aku panggil-panggil kok
enggak dengar sih?” seru Nadine.
“Oh ya? Masa sih?” Faras memutar bola matanya
ke arah kanan mencoba mengingat-ingat. Ia tak merasa mendengar suara Nadine yang
memanggilnya kemarin saat ia ke pasar Minggu pagi.
“Bukannya kemarin yang memanggil namaku itu
Sahnaz ya? Oh, rupanya Nadine,” bisik hati Faras.
“Aku kemarin ikut nongkrong di emperan sama
Sahnaz. Awalnya sih aku kebetulan lewat. Eh, baru tahu kalau Sahnaz itu
ternyata sejak Minggu pagi kemarin jualan klapertart di sana. Pas nyoba,
ternyata enak! Jadi ketagihan deh dan akhirnya nongkrong di situ sambil beli
dan mencoba terus klapertartnya Sahnaz,” Nadine bercerita panjang.
“Makan klapertart? Di emperan? Ih, enggak
banget deh!” batin Faras. Namun ia tetap memasang tampang senyum meski agak
ditahan di depan Nadine.
“Oh iya, kamu lihat Sahnaz enggak?”
Faras langsung mengarahkan kepala dan tatapan
matanya ke arah Sahnaz yang masih dikerubungi teman-teman sekelasnya.
“Soalnya aku kemarin pesan ke dia. Kamu harus
coba klapertart buatan mamanya Sahnaz, Ras. Enak! Dijamin bisa ketagihan kayak
aku,” Nadine tertawa lalu beranjak mendekati Sahnaz.
Mood Faras langsung buruk pagi itu.
Teman-temannya sedang memusatkan perhatiannya ke Sahnaz. Nadine juga malah
menambahi dengan cerita klapertart buatan mamanya Sahnaz yang katanya lezat. Semuanya
terasa menyebalkan baginya.
“Sahnaz, dan Sahnaz lagi! Membosankan!” Faras
menggerutu pelan. Ia letakkan kepalanya di atas kedua tangan yang ia lipat dan
ditumpuk di atas meja.
“Hei Faras, kamu kemarin sih sudah
dipanggil-panggil sama Nadine tapi kamunya enggak dengar. Nih, klapertartnya
tinggal satu. Khusus buat kamu, deh,” Sahnaz tiba-tiba menghampiri meja Faras
dan meletakkan semangkuk kecil klapertart.
Faras hanya menatap klapertart bertabur
kismis dan kacang almond yang nampaknya lezat di matanya.
“Ini klapertartnya spesial, Ras. Mamaku kan
asli Manado. Dia punya resep khusus. Kamu coba deh. Nanti kalau enak, kamu bisa
beli ke aku,” ujar Sahnaz sambil tertawa dan mengerlingkan mata.
Pada akhirnya Faras memasukkan sesendok klapertart
yang langsung membuat matanya mengerjap-kerjap.
“Enak banget!” seru Faras spontan.
“Terima kasih. Hehe, berarti lain kali kamu
harus beli,” Sahnaz tersenyum senang. “Aku senang, di sini teman-teman juga
mendukung aku jadi pengusaha kecil. Jadi pengusaha itu cita-citaku, Ras. Papaku
kan dosen ekonomi. Sering ia memberitahu bagaimana cara bisnis yang asik.
Katanya, satu kunci suksesnya itu harus berani. Awalnya aku ragu dan takut
malu. Tapi untungnya teman-teman di sini malah mendukungku.”
Faras masih terus diam setelah mendengar
celoteh Sahnaz. Banyak hal sedang berputar di kepalanya. Ada rasa malu sendiri,
salut, dan tentunya rasa kelapa dan kismis yang sedang bermain di lidah Faras
membuatnya terus ketagihan.
“Eh sudah ya. Jangan lupa, aku tunggu
pesanannya.”
“Naz, terima kasih,” pada akhirnya Faras bisa
tersenyum pada Sahnaz.
Kini Faras tahu, apa yang membuat
teman-temannya menyukai Sahnaz. Temannya itu punya kepribadian yang periang dan
ramah, berani tidak malu, serta gigih berjuang demi cita-citanya.
Post a Comment
Post a Comment