Adik Tersayang

Post a Comment

Cerpen ini terinspirasi dari dua memori.

Memori pertama, saat saya sempat tinggal dan menjadi reporter di Batam. Waktu itu, saya kerap melewati dan terkadang meliput ke sebuah SLB.

Itulah awal perkenalan saya dengan beragam anak-anak berkebutuhan khusus, terutama anak down syndrome atau saya biasa menyebutnya dengan DS.

Nah, ternyata saat saya memegang taman penitipan anak, lagi-lagi saya menjumpai seorang anak DS. Kesempatan kali ke dua itulah yang makin membuat saya mengerti apa dan bagaimana anak DS.

Dari dua memori tersebut, suatu ketika saya terpikir bagaimana rasanya apabila seorang anak memiliki saudara kandung yang ternyata anak DS, ya?

Imajinasi saya itulah yang lalu tertuang dalam cerpen berikut ini.

Cerpen berjudul Adik Tersayang ini pernah dimuat di Majalah Girls pada bulan Januari 2012.

Buat pembaca Blog IM Susanti, selamat membaca ya…

Adik Tersayang

“Aku nggak mau punya adik kayak Nina!” teriak Rina yang lalu berlari masuk ke dalam kamar. Mama terkejut. Nina menangis.

“Ha... Ka... Ka...” tangis Nina dengan mulut terbuka dan nafas tersengal-sengal. Nina berusaha sebisa mungkin menyebut kata kakak untuk memanggil Rina.

 “Sudah, nanti juga Kak Rina nggak marah lagi,” Mama membujuk Nina untuk pergi dari depan kamar Rina. Tapi Nina menggeleng. Telapak tangan Nina terbuka lebar dan terus menunjuk pintu kamar Rina.

Di dalam kamar, wajah Rina merah padam karena marah. Apalagi saat ia ingat teman-teman yang baru dikenalnya seminggu lalu, hari ini justru mengejeknya habis-habisan.

“Hahaha... Rina ternyata punya adik yang sekolah di SLB!”

“Jadi yang tadi ikut mengantar kamu ke sekolah dan pakai seragam SLB itu adikmu?”  

“Ih, adikmu aneh! Hahaha...”

Bertubi-tubi Raka, Bayu, dan Hana mengejek dan menertawakan Rina. Rina cuma bisa diam dan menahan tangisnya dengan mata memerah. Teman-teman yang dikiranya lebih baik dari sekolahnya dulu saat di Karimun, ternyata tak seperti dugaannya.

“Kalau tahu begini, lebih baik dulu aku menolak waktu Mama dan Papa mengajakku pindah ke Batam. Lebih enak tinggal di rumah Nenek dan bersekolah di sana,” keluh Rina sedih.

Rina ingat waktu Mama beralasan mereka sekeluarga harus pindah ke Batam. “Adikmu bisa sekolah di tempat yang lebih baik di sana.”

Sambil melamun di dalam kamar, Rina memandangi fotonya bersama Nina dan kedua orang tuanya. Dipandanginya wajah Nina dengan lebih jelas.

“Adikku memang beda. Wajahnya yang kata dokternya mirip orang Mongol itu benar-benar aneh! Ia tidak mirip dengan aku, Mama, atau Papa. Katanya, Nina mengalami down syndrome. Apa sih itu? Jangan-jangan, dia aslinya bukan adikku?” gerutu Rina kesal.
Hari-hari berikutnya, Rina masih sering mendapat ejekan di sekolah. Rina jadi kerap menyendiri karena malu. Sedangkan di rumah, Rina masih tidak mau bermain dengan Nina.

“Semua ini gara-gara Nina! Rina balik ke Karimun saja ya, Ma? Rina sedih karena nggak punya teman di sekolah,” keluh Rina suatu ketika pada mamanya.

“Masa iya sih gara-gara Nina kamu jadi tidak punya teman?” tanya Mama.

“Buktinya, Rina memang diejek terus gara-gara punya adik yang sekolah di SLB!”

Sesaat Mama tercenung. “Besok, Rina ikut Mama yuk ke SLB. Ada pentas seni di sana. Anak-anak di SLB akan menunjukkan kebolehannya masing-masing di bidang seni. Kalau nanti kamu masih malu karena adikmu bersekolah di SLB, Mama setuju kalau kamu pindah lagi ke Karimun. Bagaimana?” tawar Mama.

Rina langsung menganggukkan kepalanya dengan mantap. “Cuma tinggal besok, dan aku bisa pindah ke Karimun. Yes!” batin Rina berseru senang.

Saat di pentas seni keesokan harinya, Rina terkejut saat bertemu Chika di depan SLB. Chika adalah teman satu kelas Rina di sekolah. Rina langsung ketakutan jika Chika nantinya akan mengejek dirinya seperti yang juga dilakukan beberapa temannya di sekolah.

“Hai Rina! Akhirnya kita ketemu juga di sini. Nanti duduk di sebelahku ya. Biar aku punya teman yang bisa diajak ngobrol,” ujar Chika dengan nada senang.

“Lho, kamu juga mau menonton acara pentas seni ini? Adikmu sekolah di sini juga?” tanya Rina seakan tak percaya jika Chika juga memiliki adik yang sama dengan adiknya.

Tapi Chika menggelengkan kepalanya dan membuat Rina langsung tak bersemangat lagi. “Abangku yang sekolah di sini. Dia nanti mau baca puisi, lho! Kamu pasti akan kagum nanti. Abangku itu...” Chika lalu menceritakan tentang abangnya dengan bangga.

Sambil mendengarkan celotehan Chika, Rina masih merasa terkejut. Rina tak menyangka, Chika justru bangga terhadap abangnya yang bersekolah di SLB. Apalagi menurut Chika, abangnya jika di rumah, sangat perhatian terhadap Chika.

“Tapi, kenapa di sekolah kamu enggak pernah diejek?” tanya Rina.

“Oh, tentang Raka, Bayu, dan Hana, ya? Santai saja! Aku dulu juga sering diejek. Tapi sejak mereka tahu kalau abangku berprestasi dan sering diliput wartawan, mereka akhirnya berhenti sendiri!” cerita Chika.

Rina lalu mengingat-ingat. “Iya ya! Selama ini cuma mereka bertiga saja yang sering mengejek aku. Aku saja mungkin ya yang terlalu sering malu sendiri?” gumam Rina.

“Iya, di sekolah kamu pendiam banget! Ke mana-mana sendiri. Padahal aku dan teman-teman yang lain ingin kenal sama kamu, lho,” kata Chika yang membuat Rina jadi sadar.

Chika benar. Saat pentas seni, penampilan abangnya Chika sangat bagus. Padahal, kondisi abangnya Chika sama dengan Nina. Tak hanya abangnya Chika. Di pentas seni itu, Rina juga dibuat takjub dengan penampilan beberapa anak yang sudah besar dan juga mengalami down syndrome. Ada yang bisa menari. Ada juga yang pintar bermain piano.

Sepanjang pentas seni, Rina jadi teringat adiknya. Nina suka menghibur Rina sambil menari dengan diiringi musik. Karena tariannya tidak jelas, Nina jadi terlihat lucu dan membuat Rina tertawa terpingkal-pingkal. Padahal, saat itu Rina sedang sedih.

“Jadi balik ke Karimun, Rin?” tanya Mama di dalam mobil usai mereka pulang dari SLB.

Mendengar pertanyaan itu, Rina tersenyum malu. Ia malah menguatkan pelukannya pada Nina yang duduk di sebelahnya. “Aku tidak mau berpisah dari adikku,” batin Rina.


Related Posts

Post a Comment

Popular