Beberapa tahun yang lalu saat mengajar di
Kalsel, saya memiliki seorang teman pengajar yang terkenal tegas di kalangan
anak-anak. Selain mengajar, ia juga menjadi walikelas.
Suatu ketika dia bercerita ke saya tentang
salah seorang muridnya yang baru saja ia panggil karena dianggap suka murung di
kelas. Ternyata, murid ini cerita tentang kesedihannya yang dijauhi oleh teman
yang sangat ia anggap dekat.
Di lain waktu, suatu ketika si anak yang
pemurung ini pernah juga ngobrol dengan saya. Ia lalu bercerita yang persis
sama seperti yang sudah diceritakan teman saya.
Yang berbeda dari cerita anak ini adalah
cerita tentang teman saya yang walikelasnya tersebut. Katanya, ia tidak
menyangka jika walikelasnya yang sering terkesan galak itu ternyata perhatian
dengan murid-muridnya.
Pengalaman saya itulah yang lalu membuat saya
menulis cerita yang pernah dimuat di Majalah Girls pada September 2015. Cerpen
ini tentang seorang anak yang punya masalah dengan temannya, lalu justru
menemukan solusi dari guru yang selama ini ia pikir tidak bersahabat.
***
Pak
Ari yang Galak
Siapa yang tidak takut dengan Pak Ari. Di
sekolahku semua siswa tahu, Pak Ari yang mengajar pelajaran matematika itu terkenal
galak. Dari awal melihatnya, aku sudah menduga, ia bukan guru yang ramah.
Alisnya tebal. Wajahnya selalu serius. Aku jarang melihat Pak Ari tersenyum.
Bercanda dengan Pak Ari? Huh, siapa yang berani!
Sayangnya di kelas lima sekarang ini, ia
menjadi wali kelasku. Aku tidak bisa membayangkan bagaimana aku dan teman-teman
harus jadi anak baik di kelas. Yang aku pernah dengar dari kakak kelasku, Pak
Ari sering memarahi anak-anak di kelasnya yang nilainya jelek. Anak-anak yang
suka membuat ulah apalagi terlihat tidak disiplin juga sering dimarahinya.
Yang agak mengejutkan, siang ini Pak Ari
memintaku datang ke ruang guru setelah pulang sekolah. Aku menduga, ini pasti
karena nilaiku yang akhir-akhir ini sedang turun. Ya, aku memang sedang ada
masalah dengan Reri, teman dekatku. Aku sedih karena kini ia tidak mau lagi
dekat denganku. Aku sendiri tidak tahu apa penyebabnya. Berkali-kali aku
mencoba mendekatinya untuk menanyakan hal itu, ia seperti terlihat menghindar.
Sungguh aku jadi tidak bersemangat jika berada di sekolah. Karena selama ini,
buatku Reri adalah teman belajar dan bermain yang menyenangkan.
Yulia yang telah menyampaikan kabar agar aku
menemui Pak Ari, hanya bisa berdiri sambil menggigit bibir bawahnya, menghela
napas berat, kemudian menepuk-nepuk bahuku. Aku tahu ia khawatir denganku yang
sepertinya akan mendapat omelan banyak dari Pak Ari.
“Mana sebelumnya ada masalah sama sahabat
karib, eh, sekarang harus siap dimarahi wali kelas. Nasib…” keluhku sedih namun
tetap mencoba tersenyum di depan Yulia.
“Andai guru yang memanggilmu itu bukan Pak
Ari, mungkin aku akan menemanimu, Mir. Tapi… aku takut dengan Pak Ari,” ujar
Yulia sambil meringis.
Sepulang sekolah, aku bergegas menuju ruang
guru. Jangan sampai terlambat, pikirku. Kalau sampai telat, jangan-jangan malah
makin bertambah marah Pak Ari padaku.
“Ayo Mira, kamu duduk di sini!” seru Pak Ari
sambil menunjuk ke arah kursi yang ada di depan mejanya.
Jantungku terasa berdebar. Makin mendekati
meja Pak Ari, debar jantungku makin keras.
Sebelum bicara, Pak Ari berdeham. “Mira tahu,
kenapa Mira saya panggil?”
Karena ketakutan, aku hanya berani menatap
tumpukan buku tugas siswa di atas mejanya. “Karena nilai saya banyak yang turun
ya, Pak?”
“Ya!” jawab Pak Ari tegas.
Aku lalu ditanya kenapa nilai-nilaiku bisa
turun. Kujawab, karena aku sedang ada masalah dengan seorang teman. Dan setelah
itu, aku akhirnya malah tahu bagaimana Pak Ari yang sebenarnya.
**
Hari ini aku merasa penuh semangat. Saat
berpapasan dengan Yulia, ia memandangku dengan keheranan.
“Kemarin jadi ketemu Pak Ari?” tanyanya.
Aku mengangguk, lalu tersenyum kecil saat
mengingat ekspresi Yulia kemarin.
“Dimarahi Pak Ari, dong?” kedua mata Yulia
melotot dengan ekspresi wajah tegang.
Aku langsung terkekeh. Kuceritakan bahwa
sesungguhnya Pak Ari malah banyak menasehatiku.
“Beliau tahu, nilaiku turun bukan karena aku
malas belajar. Tapi Pak Ari tahu, aku ada masalah dan perlu jalan keluar,”
terangku pada Yulia.
Yulia mengangguk-anggukkan kepalanya. “Jadi,
kabar tentang Pak Ari yang galak itu cuma gosip, ya?”
“Yah, kalau gosip sih enggak juga. Kamu tahu
sendiri kan, bagaimana Pak Ari kalau mengajar di kelas. Beliau suka marah kalau
tahu ada murid yang bercanda atau tidak serius saat jam pelajarannya,” jawabku.
“Katanya sih,” lanjutku lagi, “Itu karena dia
tidak ingin ada murid yang sampai terganggu oleh siswa yang membuat keributan
tidak pada tempatnya. Apalagi Matematika kan bukan pelajaran yang mudah bagi
kebanyakan siswa. Aku sendiri juga sering bingung sih kalau ada yang mengajakku
ngobrol sementara aku sedang menyimak Pak Ari yang sedang menerangkan
pelajaran.”
“O…” Yulia membulatkan bibirnya. Kini ia juga
jadi tahu apa yang sebenarnya.
Tak berapa lama, kulihat Reri lewat di
hadapanku. Aku jadi ingat pesan Pak Ari agar aku tetap ramah pada Reri meskipun
ia menjauhiku.
“Hai Rer,” sapaku ramah sambil tersenyum.
Reri membalas sapaanku dengan tersenyum. Tapi
seperti hari-hari sebelumnya, Reri tidak lagi mau berjalan bersamaku. Ia lalu
berjalan ke arah yang berlawanan dengan arah jalanku dan Yulia.
“Ingat, siapa tahu mungkin Mira yang punya
salah ke Reri. Jadi kapan-kapan, Mira perlu tanya ke Reri kenapa ia jadi
menjauh. Namun apapun itu, Mira harus tetap bersikap baik pada Reri. Nanti Reri
akan sadar, bahwa Mira memang teman yang sesungguhnya,” aku teringat kata-kata
Pak Ari yang kemarin menasehatiku.
Kutatap tubuh Reri yang makin berjalan
menjauh. Mungkin sore nanti aku akan main ke rumah Reri dan mengajaknya bicara.
Jika memang ada yang salah karena ulahku, aku akan meminta maaf dan berjanji
untuk tidak mengulanginya lagi. Itu tekadku.
Sambil berjalan ke arah kelas, aku kembali
teringat Pak Ari. Ah siapa sangka. Awalnya aku kira Pak Ari akan memarahiku karena
nilaiku yang turun. Yang ada, malah aku dapat banyak nasihat dari Pak Ari
tentang masalahku dengan Reri.
“Saya tidak peduli disebut guru galak. Karena
galaknya saya itu ada tempatnya, kok,” lagi-lagi aku teringat ucapan Pak Ari
kemarin usai banyak menasehatiku.
Post a Comment
Post a Comment