Persaingan antar saudara yang berusia, apalagi
sama-sama anak perempuan, memang bisa menjadi perkara yang membingungkan bagi
orangtua. Seperti cerita anak berjudul Selalu Kakak yang pernah terbit di
Majalah Mentari tahun 2011 ini.
Banyak penyebab yang bisa membuat antar saudara
apalagi yang usianya berdekatan menjadi kerap bertengkar. Saya sendiri pernah
menuliskan artikelnya di blog ini. Untuk apa dan bagaimana menghadapi
pertengkaran antar saudara yang usianya berdekatan, bisa di baca di tulisan ini
ya: Mengatasi Kakak-Adik yang Suka Bertengkar
Sedangkan cerpen ini sendiri bisa menjadi contoh
kasus dan semoga menjadi pelajaran bagi orangtua juga untuk bersikap bijak
dalam menghadapi anak-anak yang memiliki usia berdekatan dan cenderung kerap
bertengkar.
**
Selalu
Kakak
Lili
sedang kesal dengan Lala, kakaknya. Setiap hari, selalu saja yang dipuji-puji
adalah Lala. Lala yang selalu jadi juara umum, siswa teladan, dan punya bakat
banyak, Lala yang selalu dipuji para tetangga sebagai anak yang sopan, santun,
dan ramah, Lala yang cantik dan selalu membuat siapa saja suka dengannya, dan
Lala yang selalu dibanggakan di Kakek dan Nenek karena menjadi teladan untuk
sepupu-sepupunya.
Lili
sebetulnya tidak pernah keberatan apabila Lala dipuji oleh siapa saja. Yah,
siapa sih yang tidak bangga jika kakaknya banyak disukai oleh orang banyak?
Tapi jika banyak orang lalu membanding-bandingkan Lili dengan Lala, Lili
langsung merasa kesal.
“Coba
deh kamu meniru kakakmu yang pintar dan selalu juara,” ujar guru wali kelasnya
yang terkadang sering kecewa melihat raport Lili yang tidak pernah menyabet
juara 1. Padahal bagi Lili, menjadi lima besar saja di kelas itu sudah cukup
membanggakan.
Begitu
juga komentar teman-teman Lili di kelas. “Lala itu cantik yah. Sampai akhirnya
lolos menjadi bintang iklan buat tayang di televisi. Ehm, tapi, kok kamu nggak
secantik kakakmu itu sih?” celutuk Rio dan beberapa teman-teman sekelasnya.
Lili tahu, sebetulnya Rio dan teman-temannya itu cuma bercanda. Tapi kok bagi
Lili, rasanya menyakitkan ya?
Belum
lagi pengalaman Lili yang pernah diomeli tetangga sebelah rumahnya. “Aduh,
kakakmu itu sopan sekali lho! Coba deh kamu tiru kakakmu itu,” ujar Bu Bagus
tetangga sebelah rumah saat Lili mengantarkan kue buatan mamanya.
Waktu
itu ceritanya, Lili sudah mengucapkan salam berkali-kali sebelum memasuki rumah
Bu Bagus. Tapi karena tidak ada yang mendengar, Lili memberanikan diri untuk
masuk ke dalam rumah. Ternyata, Bu Bagus baru saja berjalan dari dalam untuk
membukakan pintu. Akibatnya, Lili jadi mendapat nasehat dari Bu Bagus sebelum
pulang ke rumah.
Jika
sedang berada di pertemuan keluarga, lagi-lagi, Lala yang menjadi bahan
pembicaraan. “Wah, keluarga besar kita ini jadi ikut bangga yah. Sekarang,
wajahnya si Lala sering muncul di televisi. Kami jadi bisa bilang ke semua
orang lho kalau si Lala itu keponakan kami!” cerita Om Yos waktu itu. “Nah kamu
Lili, apa prestasimu yang bisa menyaingi kakakmu itu?!”
Lala,
dan selalu Lala! “Ah, rasanya kok malang sekali nasibku ini...” Lili
bersungut-sungut.
“Aduh,
anak Bunda yang satu ini kenapa ya kok terlihat murung hari ini,” celutuk Bunda
saat seluruh keluarga sedang bersantai di ruang keluarga melihat acara berita
di televisi.
“Iya
ya Bun, si bungsu hari ini kenapa ya?” Ayah jadi ikut bertanya-tanya.
Lili
lalu tersentak dari lamunannya. “Ah, Lili tidak kenapa-kenapa kok.”
“Ih,
ngaku saja deh Li. Aku juga merasa kok kalau hari ini kamu berbeda!” sahut
Lala.
Lili
malah makin kesal. “Mau tahu? Ini semua gara-gara Kak Lala!” akhirnya emosi
Lili meledak.
“Lho,
salah aku apa?” Lala langsung mendadak menghentikan senyumannya dan berubah
menjadi tegang.
“Semua
orang selalu memuji Kak Lala. Guru di sekolah, tetangga, keluarga besar, bahkan
teman-teman Lili sendiri! Lili capek selalu dibandingkan dengan Kak Lala!
Memangnya, kenapa sih semua orang harus seperti itu?!” omel Lili.
“Ah,
itu cuma perasaan kamu saja. Ayah dan Bunda, nggak seperti itu kok?” sahut
Bunda yang disambut dengan anggukan kepala dari Ayah.
“Iya,
Ayah dan Bunda memang selalu adil terhadap Lili dan Kak Lala. Tapi orang-orang
itu? Lili sedih Ayah... Bunda...” Lili mulai meneteskan air matanya.
“Aduh,
maafkan aku ya Li! Aku benar-benar nggak pernah bermaksud ingin membuatmu
selalu dibanding-bandingkan seperti itu...” Lala jadi merasa bersalah.
“Lebih
baik, apa yang mereka katakan itu tidak usah dimasukkan ke dalam hati. Kamu
harus ambil hikmahnya. Misalnya, coba kamu buat sesuatu yang juga bisa membuat
orang lain bangga terhadap kamu,” nasehat Ayah.
“Apa
Yah? Lili nggak tahu apa yang bisa Lili lakukan agar orang bisa bangga sama
Lili?” Lili merasa putus asa.
“Lho,
niatnya bukan untuk bangga-banggaan lho! Tapi, niatnya untuk menjadi anak yang
bisa membuat prestasi positif!” Bunda menyahut.
“Iya
Bunda. Tapi, apa yang bisa Lili lakukan? Kalau disuruh menjadi anak yang
berprestasi seperti Kak Lala, rasanya kemampuan Lili sudah maksimal kok selama
ini!” Lili bingung mencari apa yang bisa menjadi kelebihannya.
“Prestasi
kan tidak harus kamu jadi anak pintar yang selalu dapat rangking, Lili. Kamu
bisa mengembangkan hal yang lain.” ujar Ayah.
“Nah,
yang Bunda selalu tahu, kamu itu pintar memadupadankan baju. Bahkan kamu ingat
nggak, waktu Lala akan tes ikut menjadi calon model iklan? Kamu kan yang
memberi saran kepada Lala untuk menggunakan baju apa dan aksesorinya yang
seperti apa?” ujar Bunda.
“Iya
ya Bun! Terus, ini nih, bandana yang Lala pakai, ini kan buatan Lili. Lala saja
berkali-kali belajar membuat rajutan tapi tidak pernah berhasil!” seru Lala.
“Oh iya, bandana buatanmu ini pernah membuat Kak Fara, artis yang main iklan
sama Lala kemarin, juga ingin punya bandana seperti ini lho!”
“Nah,
sepertinya sudah tahu kan Li, kalau kelebihan kamu itu sebetulnya ada?” ujar
Ayah.
“Tapi,
masa bisa sih merajut atau padu padan saja bisa jadi kebanggaan?” Lili masih
kecewa.
“Eh,
jangan salah! Tante Merry kan punya usaha membuat desain baju dan aksesoris.
Sukses lagi!” ujar Bunda mengingatkan Lili tentang tantenya yang seorang
pemilik butik.
“Iya
Li, kamu harus bangga dengan kemampuan kamu itu! Siapa tahu kamu bisa meniru
jejak Tante Merry,” Ayah ikut memotivasi Lili.
Wajah
Lili kini bisa tersenyum senang. “Wah... Lili bangga deh punya Ayah dan Bunda!
Juga, Kak Lala!” seru Lili senang.
“Jadi,
ceritanya sudah nggak ngambek lagi kan?” Lala menggoda adiknya.
“Nggak
ah, Kak! Kan sebagai calon pemilik butik seperti Tante Merry, Lili harus
belajar juga jadi orang yang ramah. Bantu Lili untuk jadi orang yang seperti
itu ya Kak!”
“Iya,
harus itu. Nanti kalau kamu cemberut, pelanggan butikmu bisa lari dong!” gurau
Bunda yang membuat semua di ruangan itu jadi tertawa gembira.
Post a Comment
Post a Comment