Petualangan Dewa Mendu dan Angkara Dewa

Post a Comment

Di suatu hari cerah dengan langit biru yang tak berhias awan putih, Dewa Mendu menatap bulatan bumi di bawahnya dengan penuh minat. Sebetulnya sudah lama Dewa Mendu ingin bermain ke bumi. Ia bosan terus berada di kayangan, dunia para dewa.

Sambil duduk santai di taman kayangan para dewa, Dewa Mendu melihat berbagai kegiatan manusia. Di suatu tempat, ada sekumpulan manusia yang sedang berjual beli di pasar. Pada bagian bumi yang lain, ia menatap kagum birunya pantai yang dihiasi deburan ombak. Beberapa saat kemudian Dewa Mendu mengalihkan perhatiannya pada sekelompok orang yang sedang tertawa terbahak-bahak sambil lincah menari.

“Ah, Sepertinya hidup di bumi sungguh mengasyikkan. Di sana banyak hal yang tidak kujumpai di dunia para dewa ini,” gumam Dewa Mendu sendirian.

Karena keinginannya untuk bermain ke bumi makin hari makin kuat, ia lalu meminta izin ke ayahnya, Semandung Dewa Raja. Tetapi Semandung Dewa Raja tidak membolehkan Dewa Mendu pergi ke bumi.

“Tempat itu asing bagi kita para dewa. Banyak kejahatan yang dilakukan manusia di atas bumi. Engkau tidak boleh pergi ke sana!” tegas Semandung Dewa Raja yang melarang keinginan Dewa Mendu main ke bumi.

Tapi Dewa Mendu pantang menyerah. Ia terus berupaya membujuk ayahnya. Semandung Dewa Raja pun tak kalah kuat pendiriannya. Ia tetap tidak membolehkan Dewa Mendu walau apapun alasannya.

Karena begitu kuat rasa penasarannya, Dewa Mendu mengabaikan larangan Semandung Dewa Raja. Diam-diam, ia pergi meninggalkan kayangan. Dengan sekali loncatan, Dewa Mendu meninggalkan kayangan menuju bumi.

“Bum!” tubuh Dewa Mendu terhempas ke atas semak lebat. Untungnya Dewa Mendu sakti sehingga ia selamat meski tubuhnya terbanting keras. Ia terdampar di hutan yang berada di puncak Bukit Mencerne. Tempat itu sepi. Tak pernah ada manusia yang pergi ke sana.

Sambil menatap situasi di sekitarnya, Dewa Mendu terduduk sejenak. Pepohonan hijau yang tinggi menjulang memayungi tubuhnya. Sambil memejamkan mata, Dewa Mendu menarik napas, menghirup sebanyak-banyaknya udara segar yang dikeluarkan pepohonan.

“Akhirnya, sampai juga aku di bumi. Baiklah, aku akan mulai penjelajahanku sekarang,” putus Dewa Mendu. Ia bangkit lalu melangkahkan kakinya dengan penuh semangat.

Sementara itu keluarga Dewa Mendu di kayangan menjadi kebingungan. Sudah beberapa waktu lamanya mereka tak menjumpai Dewa Mendu. Angkara Dewa, adik Dewa Mendu, lantas terpikir untuk meminta izin mencari kakaknya.

“Sepertinya Dewa Mendu sudah pergi ke bumi. Jika dibolehkan, bisakah aku ke sana untuk mencari kakak?” tanya Angkara Dewa pada ayahnya.

Semandung Dewa Raja menjadi bimbang. Ditatapnya Angkara Dewa dengan gamang. Sebagai ayah, ia khawatir keselamatan Angkara Dewa. Tapi ia pun mencemaskan Dewa Mendu yang tidak kunjung pulang. Karena seiring waktu berlalu Dewa Mendu tak kunjung kembali, akhirnya Semandung Dewa Raja mengutus Angkara Dewa untuk menyusul kakaknya ke bumi.

“Berhati-hatilah terhadap para manusia di bumi dan temukan kakakmu di sana,” pesan Semandung Raja Dewa sambil mengulurkan tangan menyentuh kepala Angkara Dewa untuk memberi restu.

Seperti Dewa Mendu, Angkara Dewa juga terhempas di atas semak lebat dalam hutan belantara yang ada di Bukit Mencerne. Setelah melewati perjalanan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, Angkara Dewa tetap tak kunjung berjumpa dengan kakaknya. Ia menjadi gusar.

“Ke mana aku harus mencari kakakku? Kapan aku bisa menemukannya?” keluh Angkara Dewa saat sejenak duduk beristirahat di antara lekuk akar pohon besar.

Sejauh Angkara Dewa melepas pandangan, hanya pohon-pohon raksasa berdaun lebat dan semak tinggi yang dijumpainya. Di lubuk hatinya, ia begitu rindu bertemu dengan kakaknya, Dewa Mendu. Diusapnya peluh yang bercucuran di kening.

“Aku harus menemukan kakakku!” tekad Angkara Dewa. Bergegas, ia pun bangkit dan meneruskan perjalanannya.

Beberapa hari kemudian, di saat hari menjelang siang, Angkara Dewa melihat sesosok manusia di depannya yang juga sedang berjalan sendirian di dalam hutan. Ia merasa lega. Karena itu, Angkara Dewa terus mengikuti ke manapun sosok itu pergi.

“Senangnya, pada akhirnya aku menemukan manusia!” seru Angkara Dewa penuh semangat. “Aku ikuti saja ke mana dia berjalan. Siapa tahu, ia bisa membantuku.”

Ternyata saat Dewa Mendu dan Angkara Dewa turun ke bumi, wujud mereka telah berubah menjadi manusia dan tidak lagi sama seperti saat mereka berada di kayangan. Mereka menjadi tidak saling kenal.

Beberapa saat kemudian, Dewa Mendu merasa terus diikuti orang asing. Sesekali ditolehnya sosok yang terus mengutitnya. Ke manapun Dewa Mendu melangkah, sosok asing itu terus membuntuti. Dewa Mendu terganggu dan kesal. Ia curiga, jangan-jangan manusia yang berada di belakangnya itu akan berniat jahat terhadapnya.

Mendadak Dewa Mendu menghentikan langkahnya dan langsung menghadap ke belakang. Tubuh sosok asing di belakangnya seketika tersentak karena terkejut.

“Hei, kenapa kamu selalu mengikuti aku terus? Apa yang kamu inginkan dariku? Jangan-jangan, kamu ingin berniat jahat kepadaku!” hardik Dewa Mendu sambil menunjuk sosok asing yang sebetulnya adalah Angkara Dewa.

“Mengikutimu? Jangan seenaknya curiga! Aku ini sedang mencari kakakku,” elak Angkara Dewa sembari mengibaskan tangan menyangkal tuduhan Dewa Mendu.

Dewa Mendu tidak begitu saja percaya. Ia terus saja menuduh Angkara Dewa sebagai orang jahat. Lantaran terus menerus dituduh buruk, Angkara Dewa menjadi kesal. Ia lalu balik menuduh Dewa Mendu sebagai orang jahat.

Karena mereka berdua tidak henti-hentinya saling curiga, Dewa Mendu dan Angkara Dewa berkelahi. Keduanya saling menunjukkan kekuatan masing-masing. Kedua putra dewa ini memiliki kesaktian yang sama kuatnya. Tetapi keduanya juga merasa yang paling benar. Tidak ada yang mau mengalah. Setelah sekian waktu berjalan, tidak ada yang kunjung menjadi pemenang dalam pertarungan tersebut.

“Sudah, akui saja jika memang kau ingin berniat jahat kepadaku!” teriak Dewa Mendu pada Angkara Dewa di tengah-tengah gerakan tendangan dan pukulannya.

“Maksudmu kau ingin aku mengaku kalah? Tidak akan!” tolak Angkara Dewa sambil terus menangkis dan membalas serangan Dewa Mendu.

Lama-lama, kondisi Dewa Mendu dan Angkara Dewa makin lemah. Banyak luka di sekujur tubuh mereka akibat pertarungan tersebut. Apalagi, mereka berdua terus bertarung tanpa henti hingga berjam-jam lamanya.

“Sebetulnya apa mau orang tak ku kenal ini? Kekuatannya tidak bisa aku kalahkan. Huh, harus dengan cara apa aku mengakhiri pertarungan ini?” keluh Dewa Mendu dalam hati.

Napas Dewa Mendu sudah mulai tersengal-sengal. Perutnya terasa lapar karena energinya terus terkuras dalam pertarungan.  

Saat Dewa Mendu merasa hampir tak kuat lagi bertarung, dengan sisa tenaga yang ada ia berusaha berucap lantang, “Jika aku ini adalah Dewa Mendu, anak dari Semandung Dewa Raja yang ada di kayangan, maka bantulah aku menghadapi musuhku ini!”

Tubuh Angkara Dewa tak jauh berbeda dengan kakaknya. Tenaganya terasa hampir habis. Keringat dingin mulai bercucuran deras keluar.

Di saat yang bersamaan dengan Dewa Mendu yang berucap lantang, Angkara Dewa juga mencoba meneriakkan sesuatu. “Jika aku memang Angkara Dewa, putra Semandung Dewa Raja yang hidup di kayangan, maka bantulah aku mengalahkan musuh di hadapanku ini.”

Usai saling berteriak, Dewa Mendu dan Angkara Dewa seketika langsung terhenyak. Pertikaian di antara mereka langsung berhenti seketika. Dewa Mendu tidak menyangka jika orang yang dianggapnya musuh ternyata adiknya sendiri. Angkara Dewa juga tidak menduga kalau kakak yang dicarinya selama ini adalah orang yang telah berkelahi dengannya.

“Kakak?” seru Angkara Dewa tak percaya. Ia lalu mendekati Dewa Mendu, memastikan bahwa orang yang tak dikenalnya itu sebetulnya adalah kakak yang ia cari selama ini. Dicermatinya wajah Dewa Mendu yang sama sekali tidak mampu ia kenali.

“Benarkah engkau itu Angkara Dewa? Aku minta maaf karena tidak mengenalimu,” Dewa Mendu terpana menatap adiknya. Usai Angkara Dewa mengangguk, Dewa Mendu lalu memeluk tubuh di hadapannya dengan erat.

Keduanya tersenyum bahagia hingga menangis terharu. Dewa Mendu tak percaya bisa bertemu adiknya di bumi. Angkara Dewa pun lega karena bisa berhasil menemukan kakaknya.

“Kalau saja tadi aku menjelaskan bahwa aku sedang mencari kakakku yang bernama Dewa Mendu, kita pasti tidak akan sia-sia menghabiskan waktu dengan bertengkar,” sesal Angkara Dewa sambil mengusap titik tangis haru di ujung matanya.

Dewa Mendu membalas ucapan adiknya dengan anggukan kepala. “Aku juga melakukan kesalahan karena menuduhmu sebagai orang jahat. Ah, andai kita tadi tidak terburu-buru emosi, pasti kita tidak akan bertarung untuk hal yang tidak berguna ini.”

Dewa Mendu dan Angkara Dewa akhirnya menyadari kebenaran kata-kata Semandung Dewa Raja. Benar, di bumi memang banyak kejahatan. Mereka berdua telah saling melukai satu sama lain karena amarah yang tak bisa mereka tahan. Berbeda dengan di kayangan, kehidupan di dunia para dewa justru selalu tenang dan damai.

Karena masih penasaran dengan banyak hal di bumi yang pernah ia lihat saat berada di kayangan, Dewa Mendu mengajak adiknya untuk berkelana. Ia ingin memuaskan rasa ingin tahunya dulu sebelum kembali ke kayangan. Angkara Dewa menyetujui ajakan kakaknya. Ia pun sesungguhnya penasaran dengan aneka kehidupan di bumi.

Hari demi hari, Dewa Mendu dan Angkara Dewa terus mengembara. Mereka berjalan keluar masuk hutan hingga naik turun bukit. Di suatu malam Angkara Dewa merasa lelah. Ia lalu mengajak kakaknya untuk beristirahat sejenak.

Namun sebelum beristirahat, perasaan Dewa Mendu tidak nyaman. Diedarkan pandangannya ke berbagai penjuru hutan. Gelap pekat, dan ia merasa ada yang mencurigakan.

“Tapi sepertinya tempat ini tidak aman,” kata Dewa Mendu was-was. “Lebih baik engkau lebih dulu beristirahat. Nanti jika engkau sudah cukup tidur, baru setelah itu aku yang beristirahat.”

Angkara Dewa mengiyakan ucapan kakaknya. Akibat kelelahan berjalan, tak beberapa lama, Angkara Dewa langsung tertidur pulas. Dengkuran keras sesekali terdengar memecah keheningan malam.

Benar saja, saat Angkara Dewa sedang tertidur lelap, tiba-tiba datang Jin Nenek Sejenggi yang ingin memakan Angkara Dewa. Gerakannya melesat cepat hendak menyergap tubuh Angkara Dewa yang sedang tidur.

Untungnya meski kelelahan, penglihatan Dewa Mendu masih tajam. Gerakan Jin Nenek Sejenggi yang berkelabatan dalam kegelapan dapat diketahuinya.

Dengan segera Dewa Mendu melindungi Angkara Dewa. Tapi Jin Nenek Sejenggi melawan. Ia begitu lapar dan ingin menerkam Angkara Dewa.

“Aku tidak ada urusan denganmu!” geram Jin Nenek Sejenggi. Matanya merah melotot marah karena tidak menyukai Dewa Mendu yang berusaha menghadangnya.

Sementara itu, kedua tangan Jin Nenek Sejenggi terus berusaha menggapai Angkara Dewa. Beberapa kali kuku-kuku tangannya yang panjang, hitam, dan runcing hampir berhasil meraih tubuh Angkara Dewa. Tapi Dewa Mendu terus mengeluarkan berbagai jurus bela dirinya demi melindungi adiknya. Karena kesaktiannya, Dewa Mendu berhasil memenangkan perkelahian tersebut. Jin Nenek Sejenggi dibuatnya tak berkutik dan mengakui kekalahannya.

“Ampun!” teriak Jin Nenek Sejenggi kesakitan karena beberapa bagian tubuhnya luka terkena serangan Dewa Mendu.

“Aku berjanji akan menjadi sahabatmu! Jika suatu saat memerlukan bantuanku, sebutlah namaku dalam hati,” pekik Jin Nenek Sejenggi.

Dewa Mendu setuju. Usai berseru, Jin Nenek Sejenggi kemudian pergi. Dewa Mendu lalu membangunkannya adiknya. Angkara Dewa lalu terjaga dari lelap tidurnya dengan tubuh yang terasa segar. Sesuai dengan perjanjian, Dewa Mendu kemudian mendapat giliran untuk beristirahat dan Angkara Dewa yang menjaga kakaknya.

Saat Dewa Mendu tidur, datanglah Jin Datuk Mika Bandan yang ingin memangsanya. Mata Angkara Dewa yang awas karena baru saja beristirahat langsung mudah menangkap kehadiran sosok Jin Datuk Mika Bandan. Jin ini datang dengan tubuh samar yang sebentar nampak dan sebentar menghilang dalam kegelapan.
“Makanan!” desis Jin Datuk Mika Bandan dengan mata menyala menatap tubuh Dewa Mendu.

Dengan sigap, Angkara Dewa langsung menghadang jin tersebut. Jin Datuk Mika Bandan murka karena usahanya dihalangi.

“Menyingkir! Aku lapar!” bentak Jin Datuk Mika Bandan kesal pada Angkara Dewa.

Pertarungan pun terjadi. Dengan segenap upaya, Angkara Dewa menguruskan segala jurus bela dirinya. Ia tidak ingin tidur kakaknya, Dewa Mendu, menjadi terganggu. Jin Datuk Mika Bandan yang kelaparan juga terus melawan. Namun seperti nasib Jin Nenek Sejenggi, Jin Datuk Mika Bandan juga tidak berhasil mengalahkan putra dari Semandung Dewa Raja.

“Baiklah, aku mengaku kalah! Maafkan aku! Aku berjanji menjadi sahabatmu,” pekik Jin Datuk Mika Bandan meminta ampun. “Kalau nanti terjadi sesuatu dan membutuhkan bantuanku, panggil namaku dalam hati. Aku akan membantumu.”

Jin Datuk Mika Bandan mengucapkan janji yang sama seperti Jin Nenek Sejenggi. Seusai kepergian jin tersebut, Angkara Dewa melihat langit di bagian timur telah nampak kemerahan. Hari sudah beranjak pagi, pikir Angkara Dewa. Ia lalu membangunkan kakaknya dan mengajaknya kembali melanjutkan perjalanan.

Sambil terus bernyanyi dan bercanda, Dewa Mendu dan Angkara Dewa terus berjalan. Mereka menikmati segala hal yang mereka lihat sepanjang perjalanan. Hutan yang lebat dan hijau, segala aneka binatang yang ada, menjadi hal yang menarik bagi Dewa Mendu dan Angkara Dewa. Menurut mereka, semua keindahan itu tidak pernah mereka lihat di kayangan.

Hingga suatu ketika, sampailah mereka di tempat bernama Jalan Raya Titian Batu. Tempat itu sungguh indah melebihi tempat-tempat yang telah mereka lewati. Berbagai tumbuhan tampak hijau dan subur. Aneka bunga bermekaran dengan warna-warni yang elok. Buah-buahan tampak ranum dan menggoda selera. Burung aneka rupa bernyanyi dengan kicauan yang saling bersahutan.

Dewa Mendu dan Angkara Dewa terpesona. Karena itu, mereka memutuskan untuk tinggal sementara di Jalan Raya Titian Batu.

“Bagaimana jika berhenti dulu di tempat ini, Kak? Tempat ini begitu indah,” ucap Angkara Dewa sambil memandang kagum pemandangan di sekelilingnya.

Hidungnya menghirup udara segar sambil tangannya menggeliat merentang ke kanan dan kiri. Lelahnya perjalanan seakan terbayar seketika.

Dewa Mendu tersenyum geli melihat ulah adiknya. Ia lalu mengangguk sepakat. “Ya, sambil beristirahat dan menikmati pemandangan di tempat ini, kita bisa membicarakan apa yang harus kita lakukan dan ke mana kita akan pergi setelah ini.”

Saat sedang asyik bercakap-cakap beberapa waktu lamanya, Dewa Mendu dan Angkara Dewa terkejut mendengar suara pepohonan yang bergerak-gerak dengan kencang. Tidak seperti gemerisik tangkai yang sedang tertiup angin. Tak berapa  lama, muncullah seekor gajah putih yang berjalan menghampiri mereka.

Keduanya makin terkejut saat gajah putih itu lalu duduk bersimpuh di depan mereka. Ia seperti memberi hormat kepada Dewa Mendu dan Angkara Dewa. Mereka makin terkejut saat gajah putih tersebut kemudian menangis terisak-isak.

“Huhuhu… Tolonglah aku. Sebetulnya aku ini manusia. Namaku Sitti Mahdewi. Aku putri kerajaan Negeri Anta Pura. Ayahku bernama Raja Langka Dura,” ratap Siti Mahdewi sambil menangis terisak.

Dewa Mendu dan Angkara Dewa jadi ingin tahu, kenapa Sitti Mahdewi berwujud sebagai gajah putih dan bukan manusia. Setelah Dewa Mendu dan Angkara Dewa juga memerkenalkan diri, mereka lalu meminta Sitti Mahdewi menceritakan apa yang sudah terjadi.

Sambil terus menangis, Sitti Mahdewi berkisah. Dulu ia memang seorang manusia. Suatu ketika, datanglah utusan dari Raja Lak Semalik yang berasal dari Kerajaan Anta Syina. Raja tersebut ingin melamarnya. Namun Raja Langka Dura menolak lamaran tersebut. Ia tidak ingin anaknya menikah dengan Raja Lak Semalik yang memiliki kepercayaan berbeda.

Hal itu membuat Raja Lak Semalik menjadi marah karena merasa terhina. Ia lalu menyerang Kerajaan Negeri Anta Pura. Namun kekuatan pasukan Raja Lak Semalik kalah. Raja Lak Semalik makin kesal dan memendam dendam.

“Karena itu, Raja Lak Semalik menyuruh sesosok jin untuk menyihirku menjadi gajah putih. Kedua orangtuaku menjadi sedih. Apalagi makin hari, banyak orang yang menggunjing tentang diriku. Ada juga yang mengejek dan menghinaku. Hal itu makin membuat kedua orangtuaku menjadi sedih,” ujar Sitti Mahdewi sendu.

Karena tidak tega melihat putrinya terus menerus mendapat penghinaan dari banyak orang di Negeri Anta Pura, Raja Langka Dura akhirnya mengambil keputusan yang berat. Ia menyuruh perdana menterinya untuk membawa Sitti Mahdewi pergi ke hutan.

Tapi Raja Langka Dura memerintahkan sesuatu yang membuat perdana menteri terkejut. Ia harus menghilangkan nyawa Sitti Mahdewi. Menurut Raja Langka Dura, hanya cara itu yang bisa menyelesaikan masalah. Raja Langka Dura tak ingin putrinya harus terus menghadapi hinaan dari banyak orang.

“Kata ayahku, ia masih bisa menahan malu karena tubuhku sudah berubah menjadi gajah putih. Tapi ayahku tidak tega melihatku yang setiap hari selalu menangis sedih,” terang Sitti Mahdewi.

Sesampainya di hutan, perdana menteri tidak menuruti perintah Raja Langka Dura. Ia membiarkan Sitti Mahdewi tetap hidup karena tidak tega. Saat kembali ke kerajaan, perdana menteri membawa sobekan kain milik Sitti Mahdewi yang telah dibasahi darah kijang untuk mengelabui raja.

“Perdana menteri memintaku untuk menjaga diri. Lalu ia tinggalkan aku sendirian. Saat itu aku sedih dan bingung. Selama ini aku tinggal di kerajaan. Tapi kemudian aku harus sendirian di hutan. Karena aku harus tetap hidup, akhirnya aku berjalan tak tentu arah sambil mencari buah-buahan yang bisa aku makan,” tutur Sitti Mahdewi sambil mengulurkan belalainya mengusap matanya. Lelehan air mata terus mengalir dari kedua mata Sitti Mahdewi yang terus menangis.

Untungnya tak berapa lama, Sitti Mahdewi bertemu dengan dua ekor burung yang terbang menghampirinya. Mereka sudah tahu semua cerita penderitaan Sitti Mahdewi.

“Kedua burung itu tidak tega melihatku menderita. Kata mereka, aku harus pergi ke Jalan Raya Titian Batu. Ada dua orang kakak adik yang akan membantuku dan bisa mengembalikan wujudku menjadi manusia. Jadi, apakah benar kalianlah orang yang bisa membantuku?” tanya Sitti Mahdewi.

Dewa Mendu dan Angkara Dewa sesaat saling menatap. Mereka merasa iba setelah mendengar semua cerita Sitti Mahdewi. Dipandanginya wujud gajah putih yang merupakan penjelmaan Sitti Mahdewi. Dalam benak keduanya, mereka membayangkan, pasti betapa sulit hidup menjadi seekor gajah.

 “Baiklah, aku akan menolongmu,” ujar Dewa Mendu yang kemudian membacakan mantranya.

Asap putih lantas muncul, mengepung tubuh Sitti Mahdewi. Saat asap itu reda, Sitti Mahdewi sudah tidak lagi berwujud gajah putih. Dewa Mendu dan Angkara Dewa terkejut dan terkesima. Mereka tak menyangka ternyata paras Sitti Mahdewi begitu cantik.

Sitti Mahdewi memandangi tubuhnya yang sudah berubah kembali menjadi manusia. Ia tersenyum girang sambil memegangi tangan, kaki, tubuh, dan kepalanya.

“Terima kasih. Terima kasih,” seru Sitti Mahdewi berulang kali. Ia tak menyangka, akhirnya kutukan yang dialaminya selama beberapa tahun itu akhirnya telah hilang.

“Aku harus kembali ke kerajaanku. Bisakah kalian mengantarku ke sana? Aku akan mengenalkan kalian pada ayahku. Ia pasti juga akan berterima kasih atas apa yang telah kalian lakukan padaku,” tutur Sitti Mahdewi.

Sesaat Dewa Mendu dan Angkara Dewa saling pandang.

“Bagaimana jika kita lanjutkan pejelajahan kita di bumi ini dengan pergi ke sana?” ajak Dewa Mendu.

Angkara Dewa mengangguk setuju. “Ya, Kak. Kita harus mengantar Sitti Mahdewi pulang dengan selamat.”

Sesampainya di Kerajaan Negeri Anta Pura, Raja Langka Dura terkejut saat mengetahui putrinya masih hidup. Padahal, Raja Langka Dura sedang berencana mengadakan upacara berkabung untuk mengenang 40 hari meninggalnya Sitti Mahdewi.

“Anakku…” seru Raja Langka Dura sambil memeluk putrinya dan menangis. “Maafkan ayahmu, Nak.”

Sambil menggelengkan kepala, Sitti Mahdewi juga meminta maaf. “Aku juga membuat ayah menjadi susah.”

Dewa Mendu dan Angkara Dewa lalu diperkenalkan Sitti Mahdewi ke Raja Langka Dura. Raja Langka Dura terkesan dengan cerita putrinya. Dalam hati Raja Langka Dura merasa, dua sosok di hadapannya itu pastilah bukan manusia sembarangan. Menurut Raja Langka Dura, pasti keduanya memiliki kesaktian yang tinggi. Mereka juga memiliki hati yang baik karena sudah menolong Sitti Mahdewi. Padahal sebelumnya mereka berdua tidak mengenal putrinya.

“Karena engkau telah berhasil mengembalikan wujud Sitti Mahdewi menjadi manusia, maukah engkau menikah dengan putriku? Aku akan senang jika putriku bisa menikah dengan orang yang baik seperti anda,” tanya Raja Langka Dura ke Dewa Mendu.

Dewa Mendu menerima tawaran tersebut. Akhirnya ia menikah dengan Sitti Mahdewi. Tak berapa lama kemudian, Raja Langka Dura mengangkat Dewa Mendu untuk menggantikannya menjadi raja. Ia merasa sudah tua sehingga tidak sanggup lagi memerintah kerajaan.


Dewa Mendu lantas menjadi raja dengan gelar Raja Muda. Di bawah kepemimpinannya, Kerajaan Negeri Anta Pura makin maju dan berkembang. Segala masalah kerajaan bisa diselesaikan Dewa Mendu dengan baik dan bijaksana. Rakyat menjadi hidup makmur dan merasa tenteram.

Sumber foto: Melayu Online

Related Posts

Post a Comment

Popular