Uniknya Budaya Kuliner di Kalsel 

Post a Comment

Berbagai hal unik terkait budaya kuliner yang bisa kita temukan dalam masyarakat Banjar yang ada di Kalimantan Selatan.

Sebagai orang yang pernah merantau dan hidup nomaden, buat saya, tinggal di Kalimantan Selatan itu punya budaya kuliner yang unik. Apalagi buat orang dari Jawa Timur seperti saya.

Waktu itu sekitar tahun 2012 hingga 2013, saya pernah tinggal di daerah Barito Kuala, yang jaraknya cukup dekat dengan Banjarmasin. Bisa dibilang, Banjarmasin coret. Saking dekatnya.

Nah seumur-umur di sana, ada beberapa ingatan tentang budaya kuliner di Kalsel yang menurut saya unik. Beberapa budaya kuliner tersebut antara lain sebagai berikut.

  1. Ketupat selalu dijual setiap hari

Kalau di Jawa, orang mungkin familiar dengan lontong. Tapi kalau di Kalsel, ketupat itu lebih dikenal setiap harinya oleh masyarakat di sana.

Penju ketupat yang setiap hari selalu ada di pasar yang ada di Kalimantan Selatan

Nggak ada yang namanya harus menunggu lebaran buat bisa makan ketupat. Karena banyak makanan di sana memang menggunakan irisan ketupat sebagai pengganti nasi. Sehingga kita pun bisa menjumpai penjual ketupat setiap harinya di pasar.

  1. Nasi pera

Buat saya yang terbiasa makan nasi dengan kondisi lemes banget karena dimasak dengan dikukus, makan nasi pera itu rasanya bikin kaget mulut. Dan itulah yang saya dapati waktu awal-awal tinggal di Kalsel. 

Jadi pas datang di Kalsel, saya tinggal di perumahan untuk guru yang ada di lingkungan sekolah. Makannya ikut masakan yang dibuat oleh pihak katering sekolah.

Waktu itu kaget juga pas makan nasi. Pikir saya, ini apa nasinya kurang mateng masaknya kali ya? Eh tapi besok dan besoknya lagi, kok ya tekstur nasinya seperti itu terus.

Selain kurang suka teksturnya, ternyata nasi ini juga tidak membuat perut saya nyaman. Setiap habis makan, perut saya malah jadi makin lapar.

Jadi ternyata, beras di Banjar memang tipenya seperti itu. Kalau dimasak, jadinya tipe nasi pera. 

Karena itu kalau beli beras, penjualnya menawarkan dua macam beras, beras Banjar atau beras Jawa. Mungkin untuk mengantisipasi orang yang rewel kayak saya kali ya!

Nyatanya, tak selamanya beras Banjar itu jadi nasi pera, lho. Pernah suatu ketika saya beli beras Banjar, lalu saya masak kukus seperti biasanya saya memasak nasi. Eh ternyata nasinya jadi cakep lho! Nggak pera, dan tentunya nggak jadi terlalu lembek. 

Sejak saat itu, saya dan teman serumah yang tinggal di perumahan guru, memilih untuk beli beras Banjar. Alhamdulillah, pengeluaran pun jadi lebih berkurang. Lha kalau beli beras Jawa, harganya lebih mahal, euy!

  1. Makan kuah pakai tangan

Keunikan lain dari budaya kuliner di Kalsel adalah makan pakai tangan. Benar-benar sunnah Rasul. 

Cuma yang saya heran, konteks makan pakai tangannya ini untuk makan Ketupat Kandangan yang berkuah. Atau, makan nasi pera tadi.

Ngomongin nasi pera lagi, jadi nasi ini menurut saya susah lho kalau kita makannya pakai tangan dan tidak pakai sendok. Untuk mengumpulkan nasi sebelum masuk mulut, itu nggak mudah. Karena nasinya kan nggak mau lengket bulir satu dengan yang lainnya.

Sedangkan makan Ketupat Kandangan yang masuk kategori makanan berkuah, menurut saya ya susah juga kalau pakai tangan. Kalau kita makan makanan berkuah pakai sendok kan enak tuh, bisa menyendok kuahnya dengan mudah. Kalau pakai tangan, bagaimana caranya dong?

Tentunya saya nggak bisa menjelaskan di tulisan ini. Tapi kalau lihat orang asli Banjar yang bisa makan Ketupat Kandangan pakai tangan, yakin deh, kalian pasti takjub!

  1. Kulit cempedak yang dimasak

Ini juga salah satu budaya kuliner yang menurut saya unik. Sebagai orang yang pernah tinggal di Bekasi, tentu saya sudah biasa tahu dengan buah cempedak. 

Mandai yang terbuat dari kulit cempedak untuk jadi bahan baku masakan

Buah ini memang mirip nangka. Tapi, bentuknya lebih kecil. Wanginya pun lebih tajam dibanding buah nangka.

Kalau cempedak digoreng pakai tepung, saya pun sudah biasa dan suka banget. Tapi nyatanya waktu di Kalsel, saya malah lebih jatuh cinta saat makan kulit cempedak yang dimasak sebagai teman makan nasi.

Namanya Mandai. Waktu saya dijelasin kalau masakan yang dibuat istri teman saya itu berasal dari kulit cempedak, saya susah percaya. Lha wong rasanya enak banget. Mirip makan tumis pakai suiran daging ayam.

Tapi Mandai ini bukan kulit cempedak yang dimasak begitu saja lho ya. Ada proses pembersihan kulit luarnya. Selain itu ada juga proses fermentasi selama beberapa hari. Barulah setelah itu Mandai bisa kita gunakan untuk bahan masakan. 

Teksturnya memang mirip daging ayam. Hanya saja, ada sedikit rasa yang berbeda. Terkadang saat mengunyahnya, kita pun sedikit merasakan rasa alkohol khas fermentasi.

Pesan saya, buat yang punya sakit magh, hati-hati makan mandai. Kalau kalap karena saking enaknya, bisa berujung pada asam lambung yang naik, lho!

  1. Sambal tomat kalah pamor dengan sambal ramania

Sambal bawag atau sambal tomat, sepertinya di mana-mana sudah familiar ya. Tapi kalau buat orang Kalsel, pas belanja untuk rencana bikin sambal, mesti harus ada ramanianya.

Buah ramania atau gandaria ini jadi salah satu bahan baku sambal di banjar Kalimantan selatan

Ramania ini dalam bahasa Indonesia disebut juga buah gandaria. Buahnya mirip mangga tapi ukurannya bulat sebesar tomat. 

Yang digunakan untuk campuran sambal adalah buah ramania yang kulitnya masih hijau. Cara pakainya, kupas dulu kulitnya, lalu iris-iris daging buah gandaria sampai tersisa bijinya. Tambahkan irisan daging buah gandaria ini setelah cabai dan yang lainnya diulek halus.

Rasanya, bikin kemecer kalau kata orang Surabaya. Sangat merangsang air liur banget! Ada sensasi asam yang menyegarkan kalau sambal yang kita buat dicampur dengan buah gandaria.

  1. Nasi goreng super merah

Waktu di Kalsel dan pertama kali dibelikan teman nasi goreng, waktu itu saya kaget banget. Ya ampun, nasi gorengnya kok merah banget! Ini nggak apa-apa nih saosnya? Apa nggak kebanyakan?

Ndilalah waktu saya beli sendiri nasi goreng dan tahu kalau penjualnya orang Jawa, sempet saya bersyukur. Pikir saya, alhamdulillah, kali ini bisa makan nasi goreng tanpa kebanyakan saos lagi. 

Pas sampai rumah, kaget dong. Ternyata nasi gorengnya merah banget, lagi! Ya sudah deh, mau pindah beli ke manapun, akhirnya saya pasrah. Memang semerah banget gitu model nasi goreng di Banjamasin. 

  1. Mie karet

Urusan makan merah gonjreng, ternyata juga ada temannya. Namanya mie karet. Sekilas kalau kita lihat penjual yang menjual mentahannya, kita seperti melihat kumpulan karet cabe warna merah yang dikumpulkan dalam satu wadah.

Mie karet ini bentuknya memang beneran kayak karet. Jadi bukan mie yang panjang begitu bentuknya.

Mie karet ini bisa dimasak seperti halnya membuat mie goreng pada umumnya. Karena merah gonjrengnya, jujur, ini salah satu makanan khas Banjar yang tidak pernah saya coba selama tinggal di sana.

  1. Sarapan nasi kuning bisa setiap hari

Masih urusan warna merah, di daerah urang Banjar juga terkenal dengan yang namanya lauk sambal habang. Habang, artinya juga merah.

Bentuknya berupa lauk yang dicampur bumbu habang atau sambal. Varian lauk yang bisa kita pilih telur, ayam, atau ikan haruan.

Nah, yang mau saya bahas itu sebetulnya bukan si sambal habang. Tapi nasi kuning. Jadi buat orang Kalsel, makan nasi kuning pakai sambal habang itu jadi hal yang biasa untuk sarapan. 

Coba deh kalau pagi jalan-jalan keliling Banjarmasin. Pasti kita akan mudah menjumpai orang jualan nasi kuning bungkus sambal habang untuk sarapan.

  1. Jengkol jadi camilan

Bisa dibilang tidak banyak orang yang suka jengkol. Alasannya pasti, karena takut denga aromanya yang tertinggal di mulut. Apalagi kalau sudah dimakan lalu kita buang air kecil. Habis itu kamar mandi bisa terasa horor aromanya!

Di saat banyak orang tidak suka makan jengkol, di Kalsel, orang malah makan jengkol untuk camilan. Nama kulinernya adalah Jaring Tahi Lala.

Jadi makanan ini berasal dari jengkol atau yang orang sana sebut dengan jaring, yang diolah lama, sehingga konon tidak menyisakan rasa jengkol yang menyengat. 

Makannya pakai dicocol di tahi lala. Jadi jengkolnya dimakan pakai bumbu cocolan.

Katanya sih enak banget. Nggak kayak makan jengkol. Cuma saya waktu di sana beneran nggak berani beli euy! Udah parno duluan sama yang namanya jengkol.

Btw, tahi lala ini memang ditulis tanpa huruf T di akhir kata lho ya! 

  1. Teratai dijual bukan untuk hiasan

Kalau ke pasar terapung, kita bisa menjumpai para penjual di atas perahu yang menjual tangkai-tangkai bunga teratai.

Di Singapura di kawasan Bugis Junction, mungkin kita akan menjumpai penjual tangkai teratai untuk hiasan sembahyang bulan mati atau bulan purnama. Tapi kalau di Kalsel, tangkai dengan bunga teratai ini dijual untuk dibeli dan disayur.

Saya sendiri belum pernah coba karena nggak tahu cara mengolahnya. Jadi dari pada beli tangkai teratai, saya lebih mending beli tangkai-tangkai genjer untuk disayur.

  1. Surganya pecinta kuliner tidak pedas

Dua tahun tinggal di Kalsel nyatanya membuat lidah saya jadi terbiasa dengan makanan tidak pedas. Pas balik ke Lamongan, sampai bertahun-tahun, lidah saya jadi harus kembali membiasakan diri dengan makanan yang katanya nggak pedas tapi nyatanya pedasnya level gila!

Ragam kuliner yang biasa dijual di pasar pagi yang ada di kalimantan selatan

Sepertinya buat orang asal Jogja atau Jawa Tengah, bakal betah kalau tinggal di Kalsel. Karena di sana jarang sekali kita bisa menemukan makanan yang pedas. Sambal yang katanya pedas saja, levelnya ringan lho.

  1. Telur omega

Buat saya, telur ayam di Kalsel itu misteri. Entah kenapa, kuning telurnya itu bisa oranye banget. Bulatan kuningnya juga lebih besar dibanding telur ayam yang ada di Jawa.

Jadi kalau di Jawa orang tahunya ada telur omega yang bagian kuningnya oranye, yang telur ini harganya lebih mahal dari telur ayam biasa, di Banjarmasin dan sekitarnya, justru telur seperti ini mudah didapatkan di mana saja. 

  1. Saat populasi mangga kuweni lebih melimpah dari mangga biasa

Kalau musim buah mangga di Kalsel, kita akan melihat banyak pohon dengan buah-buah mangga bergelantungan.

Tapi hati-hati ya, karena kebanyakan yang terlihat itu adalah mangga kuweni. Dan ini populasinya buanyak banget jika dibanding pohon mangga yang cuma sedikit. 

Ada beberapa perbedaan antara mangga kuweni dengan mangga biasa. Aroma buah kuweni ini wangi banget. Dan wanginya beda dengan wangi buah mangga. Daging buah mangga kuweni yang selalu saya jumpai di Banjar, kuningnya cenderung hijau. Selain itu, daging kuweni sangat berserat kasar. 

Karena itu, orang-orang biasanya menggunakan mangga kuweni untuk diambil sarinya. Kalau dimakan, teksturnya dagingnya agak susah untuk diiris atau dikunyah di mulut.

Setidaknya tiga belas budaya kuliner itu yang menurut saya unik dan ada di Kalimantan Selatan. Unik ini bukannya aneh lho ya. Karena ada beberapa di antaranya yang saya malah suka. 

Misalnya mandai. Itu kesukaan saya banget! Meski mirip suir daging ayam, tapi sepertinya ada kelezatan sendiri saat menikmati mandai.

Kalau kalian yang asalnya bukan dari Kalimantan Selatan lalu tinggal di sana, coba deh tulis di kolom komentar, budaya kuliner apa yang menurut kalian unik.

Related Posts

Post a Comment

Popular