Semangat Fira dalam Semilir yang Berkarya dengan Sentuhan Alam dan Budaya

Post a Comment

 

Alfira Oktaviani. Sumber foto: Instagram @alfiraoktaviani

“Aku harus berkarya!”

Itu tekad Alfira Oktaviani atau yang akrab disapa Fira saat pada akhirnya harus memilih meninggalkan profesinya sebagai apoteker. 

Lulus kuliah di tahun 2016 jurusan Apoteker, Fira akhirnya menghentikan semua dunia apotekernya sejak menikah dan lantas memiliki anak. Pilihannya ini dikarenakan ia ingin lebih fokus mengurusi keluarga. Namun meski demikian, Fira tidak mau diam berpangku tangan begitu saja dalam statusnya sebagai ibu rumah tangga. 

Ia pun mencari-cari kesibukan yang berkaitan dengan prakarya. Sempat ia melirik batik atau shibori. Namun akhirnya ia justru cinta pada Ecoprint, salah satu jenis batik yang proses pembuatannya menggunakan bahan-bahan tumbuhan seperti bunga, daun, akar, atau batang.

Kain Ecoprint dari Semilir. Sumber foto: Instagram @semilir_ecoprint

Ternyata tidak sia-sia ilmu kefarmasian dan morfologi tumbuhan yang telah Fira pelajari di bangku kuliah. Karena pada akhirnya, ilmu itulah yang mempermudah proses Fira dalam memelajari Ecoprint. 


Ecoprint Serta Dampak Positifnya pada Alam dan Sosial Ekonomi 

Bagi Fira, Ecoprint itu unik. Awalnya ia heran, bagaimana daun-daun bisa tercetak warna dan motifnya pada kain. Ketertarikan itulah yang membuatnya mencoba mencari tahu seluk beluk Ecoprint untuk ia pelajari.

“Ecoprint itu tehnik ini ya, mau motif kain dengan cara kita menggunakan daun-daun maupun bunga yang ada di sekitar kita. Jadi cetakan dan motifnya itu asli dari warna daun gitu,” terang Fira.

Caranya menurut Fira, kain putih digelar terlebih dulu. Kemudian susun daun-daun yang sudah disiapkan. Selanjutnya gulung, ikat kencang, kemudian kain tersebut dikukus selama kurang lebih dua jam. Dengan cara ini, kain pun jadi mendapat warna alami yaitu zat tanin dari tumbuhan. 

Tehnik pembuatan kain ecoprint. Sumber foto: Instagram @semilir_ecoprint

Tak hanya urusan membuat kain Ecoprint, Fira pun juga memelajari dan meriset hingga kondisi produk jadi pasca produksi. Misalnya mulai dari uji ketahanan warna, perawatan, sampai luntur tidaknya kain saat dicuci.

“Terus juga aku juga udah masukin ke labnya BKKB Balai Besar Kerajinan dan Batik itu untuk menguji bagaimana ketahanan warna. Dan akhirnya aku bisa memberikan istilahnya apa ya kayak kepercayaan ya trust untuk customer aku kalau bahwa ecoprint itu tahan warnanya kalau digunakan dalam sehari-hari kayak gitu,” terang Fira.

Yang mengasyikkan, proses Ecoprint ini cukup bersahabat dengan alam. Air sisa proses pembuatan tidak mencemari lingkungan karena tidak menggunakan pewarna buatan, melainkan dari tumbuhan. Setelah jadi, daun yang sudah dipakai pun bisa bermanfaat menjadi pupuk. 

Di tahun 2018, Fira lantas mendirikan Semilir di daerah Ngaglik Donoharjo Sleman, Yogyakarta. “Kita sebenarnya lebih ke produk-produk seperti aksesoris fashion ya. Ada beberapa tas, terus kita juga untuk yang massal itu kita bikin corporate souvenir. Terus di sini sih kita lagi pengen buat fashion baju khususnya. Yang bertema kebaya tapi tetap pakai motif Ecoprint dan kewarnaan alam,” terang Fira.

Aneka produk Ecoprint dari Semilir. Sumber foto: Instagram @semilir_ecoprint

Keberadaan Semilir tak hanya membuat Fira mendalami ilmu pembuatan kain Ecoprint untuk bahan baku produknya. Ia mengaku, makin hari Fira pun belajar tentang dunia bisnis. Jika awalnya ia belajar bisnis hanya berkutat pada manajemen farmasi apotik, kini seiring waktu, ia jadi makin mendalami sisi lain dari dunia bisnis.

“Jadi ya alhamdulillah sampai sekarang aku udah mulai paham. Siapa target pasar aku. Terus si Ecoprint ini laku di mana,” aku Fira.

Selain memiliki nilai manfaat pada alam, Ecoprint juga memiliki nilai manfaat besar bagi para ibu rumah tangga yang turut terlibat dalam proses produksi Ecoprint. Tanpa Fira sangka, ibu-ibu rumah tangga yang ada di sekitarnya makin hari makin banyak yang terlibat dalam Semilir. 

Keikutsertaan para ibu-ibu rumah tangga ini mulai dari penanaman tumbuhan untuk bahan baku Ecoprint untuk memermudah ketersediaan bahan. Para ibu rumah tangga ini pun lambat laun ikut terlibat dalam proses produksi di Semilir.


Cara Semilir Bertahan di Masa Pandemi

Bisa dibilang, Semilir adalah wadah kreativitas Fira yang terus berkarya tiada henti. Misalnya saja di saat pandemi Covid 19 lalu. Agar bisa terus bertahan, Fira pun mengembangkan usahanya agar sesuai dengan kondisi yang ada. 

Di waktu pandemi, Semilir memproduksi masker dengan corak khas Ecoprint. Tak hanya itu, ada juga produk Do It Yourself atau DIY kit untuk masyarakat yang ada di rumah agar bisa mencoba Ecoprint sendiri.  

Produk busana dan masker dari Semilir. Sumber foto: Instagram @semilir_ecoprint

Selain itu, Fira juga membuka peluang kerja sama untuk para pemilik yang brand lokal lain. “Misalnya mau celup warna ataupun Ecoprint di tempat kita, kita buka peluang semua itu gitu lho supaya tetap berhubungan,” jelas Fira.


Mengangkat Warisan Budaya Lantung dengan Sentuhan Khas Semilir

Tak hanya berkarya dengan Ecoprint, Fira juga berkarya dalam kain Lantung. Sejak dulu, Lantung merupakan warisan budaya khas Bengkulu yang memiliki nilai sejarah sejak zaman penjajahan Jepang.

Jadi dulunya, masyarakat Bengkulu kesulitan untuk bisa membeli kain. Akhirnya mereka pun menyiasatinya dengan menggunakan kulit kayu pohon yang kemudian dibentuk menjadi lembaran. 

“Dia itu souvenir khasnya Bengkulu lah gitu. Cuma kita angkat karena kita mendapatkan beberapa problem di kulit kayu lantung itu bahwa kulit kayu lantung ini kurang diminati,” terang Fira yang memiliki garis keturunan Bengkulu dari ayahnya.

Ia melihat, minimnya minat masyarakat terhadap kulit kayu lantung karena belum adanya inovasi dalam hal pewarnaan atau penambahan motif di kulit kayu tersebut. Lebih lanjut menurutnya, kulit kayu lantung ini kemudian menjadi bahan material. Jika biasanya di Semilir sejak awal Fira menggunakan kain, kemudian kulit kayu lantung inilah yang kemudian menjadi pengganti kain. Dengan kain lantung, Fira bisa membentuk aneka macam kerajinan berbentuk tas, dompet, hingga segala macam produk lainnya. 

Untuk mendapatkan kain lantung, Fira menempuh perjalanan 7 jam dari Bengkulu ke arah selatan untuk sampai di Kota Kaur. Di sanalah ia menjumpai pengrajinya kulit kayu lantung.  

“Jadi kulit kayu itu dari pohon sejenis nangka-nangka atau sejenis sukun-sukunan gitu. Pokoknya dia yang bergetah. Kalau diambil kulit kayunya, kulit kayunya itu kan sekitar lebarnya itu 10 sampai 20 cm. Terus sama ibu-ibu di Desa Papahan itu dipukul-pukul dengan alat namanya perikai. Sampai dia pipih, pipihnya itu melebar sampai 1-2 meteran gitu. Pokoknya dia cari pohon yang memiliki elastisitas ya atau bisa dibilang dia melar gitu,” cerita Fira.

Proses pembuatan kain lantung yang dipukul-pukul dengan menggunakan. Sumber foto: Instagram @semilir_ecoprint

Kain lantung tersebut lalu ia beri motif khas Ecoprint, diberi pewarna dari alam. Warna asli kain lantung sendiri adalah coklat kekuning-kuningan. Di Semilir, kain lantung pun jadi memiliki corak warna lan seperti merah atau biru. 

Bersama Semilir dalam bentuk karya Ecoprint dan Lantung, Fira akhirnya meraih penghargaan Satu Indonesia Awards di tahun 2022 untuk kategori kewirausahaan. Ini dikarenakan dengan usahanya dalam bentuk Ecoprint, Fira bisa memberdayakan ribuan ibu-ibu yang ada di Yogyakarta untuk turut serta dalam proses produksinya. Sedangkan dengan kain Lantung, Fira mengangkat warisan budaya Indonesia berupa kulit kayu lantung. 

Fira memiliki mimpi, ia berharap makin bisa memperkenalkan kulit kayu lantung dengan motif Ecoprint yang menjadi ciri khas Semilir ke banyak orang. Tak hanya Indonesia akan tetapi hingga ke mancanegara. 

Busana dari kain lantung dengan motif ecoprint. Sumber foto: Instagram @semilir_ecoprint



Related Posts

Post a Comment

Popular