Cita-cita Qisia

2 comments


Beberapa tahun lalu, kawan saya yang bernama Faisal menempuh kuliah S3-nya di Jerman. Ia mengajak seluruh anggota keluarganya, istri, dan anaknya yang waktu itu masih satu. Nama putrinya adalah Qisia.

Suatu ketika, Faisal menulis di status Facebooknya, tentang cerita putrinya yang terlibat pembicaraan dengan teman sekolahnya seputar roket. Waktu itu kalau tidak salah, Qisia masih duduk di sekolah playgroup.

Tapi… pembicaraan anak-anak playgroup ini sudah lumayan berwawasan lho. Mereka tahu, negara mana yang punya dan tidak punya roket. Nah, Qisia yang dari Indonesia ini ditanya oleh teman-temannya, kenapa kok Indonesia tidak punya roket?

Cerita tentang pembicaraan Qisia dan teman-temannya yang diceritakan ulang oleh Faisal ini membuat saya terinspirasi menuliskan cerita ini. Meski ini cerita anak, tapi saya ingin sekali mengangkat nilai-nilai tentang kebangsaan, cita-cita dan impian, dan serta kedekatan ayah dan anaknya.

Selamat membaca cerita saya yang pernah terbit di Majalah Girls beberapa tahun lalu ini ya…

***

Cita-cita Qisia

Angin menerbangkan rambut Qisia yang sedang melamun saat duduk di atas boncengan sepeda ayahnya. Ia tersadar dan penasaran mengapa negaranya hingga kini belum punya stasiun luar angkasa dan segala perangkat antariksa canggih lainnya.

Kemarin, Qisia mendapat pertanyaan dari teman-temannya setelah mereka sibuk membanggakan negaranya masing-masing. Ini untuk kesekian kalinya Qisia kesulitan harus menjawab pertanyaan teman-temannya di Sekolah Saint John’s Heidelberg Jerman.

Dulu sewaktu awal datang ke sekolah itu dan memperkenalkan diri dari Indonesia, banyak temannya yang menanyakan hal aneh. Ada yang bertanya, Indonesia itu ada di mana. Ketika ia jawab dekat Australia, Singapura, dan Malaysia, mereka malah bertanya apakah Indonesia itu dekat dengan Bali. Rasanya ingin sekali Qisia tertawa. Tapi lantas ia menahan mulutnya. Ia melihat tatapan serius teman-temannya yang memang tidak menganggap itu sebagai hal konyol. Saat Qisia menjawab Bali itu sebuah pulau di Indonesia, barulah mereka menggangguk-anggukan kepala tanda mengerti. Qisia sungguh tak habis pikir, mengapa Bali lebih terkenal dari pada Indonesia.

Pertanyaan lain yang membuat Qisia sampai membelalakkan mata adalah pertanyaan Frau, temannya dari Rusia. “Apakah di Indonesia itu ada listrik?” Katanya, ia pernah melihat acara tivi tentang orangutan di Kalimantan. Karena itu ia berpikir, Indonesia seperti kebanyakan negara di Afrika. Pertanyaan itu membuat Qisia harus menggigit bibirnya karena merasa tidak nyaman. Ia sedih, kenapa sampai ada orang di luar negeri yang menganggap Indonesia masih belum ada listrik.

Qisia menghembuskan nafas berat. Ia tidak pernah menyesali keputusan ayahnya yang membawa ia dan ibunya untuk ikut tinggal di Jerman, menemani ayahnya yang sedang kuliah S3. Qisia malah senang, ia jadi bisa tahu banyak hal baru. Tapi jika itu tentang teman-temannya yang saling menceritakan negaranya masing-masing, Qisia kerap merasa tidak nyaman.

"Ayah, kenapa negara kita tidak punya perangkat antariksa canggih?”

Pertanyaan Qisia membuat ayahnya yang sedang mengayuh sepeda di tepi Sungai Rhein jadi menghentikan kayuhnya.

“Memangnya kenapa Qisia? Qisia mau jadi astronot?” tanya Ayah.

Qisia lalu bercerita tentang kejadian yang kemarin ia alami di sekolah. Frau Elter dan Tatjana bercerita kalau Rusia, Amerika, dan Jerman punya roket, pesawat antariksa, dan stasiun luar angkasa.

“Temanku Tang Tang dari China juga bilang punya. Iman dan Sharina dari India juga bisa buat. Kenapa Indonesia tidak punya? Apa kita tidak punya uang ya? Atau kita tidak mampu membuatnya? Kenapa?” Qisia mengulang pertanyaan-pertanyaan yang ia terima kemarin. Pertanyaan-pertanyaan yang membuatnya cuma bisa tersenyum malu karena tidak bisa menjawab. Untungnya, saat itu Miss Elfreda memanggilnya ke kantor. Jika tidak, Qisia tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi teman-temannya.

Ayah mengelus rambut panjang Qisia. “Nak, kalau Ayah menjawab dengan jelas pertanyaan teman-temanmu itu, rasanya akan sangat panjang penjelasannya. Intinya, negara kita memang belum mampu. Dan karena itulah ayah sampai mengajakmu untuk sekolah di Jerman. Ayah tidak sekedar ingin meminta Qisia dan Ibu menemani ayah belajar di sini. Kamu harus punya banyak ilmu dari sini.”

Qisia mengedip-kedipkan matanya sambil menatap kedua mata ayahnya dalam. “Ayah ingin Qisia jadi astronot, lalu karena itu Qisia harus belajar di Jerman? Qisia tidak mau jadi astronot, Ayah!” seru Qisia.

Ayah langsung tertawa terbahak-bahak, membuat seorang kakek tua yang kebetulan lewat di dekat mereka jadi tersenyum dengan heran.

“Memangnya Ayah memaksa Qisia jadi astronot? Memangnya Qisia mau jadi apa? Ayah sama Ibu akan menghargai apapun cita-cita Qisia asal itu positif, kok.”

“Qisia kira Ayah benar-benar serius mau menjadikan Qisia astronot karena negara kita tidak punya peralatan canggih antariksa,” Qisia bernafas lega.

Ia lalu teringat Om Hendra, adik ayahnya yang seorang dosen Elektro yang ahli Fisika dan bisa membuat berbagai perangkat elektronik unik di rumahnya sendiri.

“Qisia pengen seperti Om Hendra saja. Ahli Fisika. Nanti, Qisia akan sekolah di Kaiserslautern,” ujar Qisia yakin sambil menyebut sebuah universitas di Jerman yang pernah ia kunjungi bersama ayahnya.

Ayah langsung membelalakkan mata. “Wah, kalau kamu kuliah di sana, uangnya siapa, Qisia? Hm, semoga ayahmu ini banyak rejeki ya biar kamu bisa kuliah di sana.”

“Ya uang beasiswa, dong. Kayak Ayah sekarang. Kan Qisia ini punya otak cemerlang. Qisia yakin, suatu saat bisa menunjukkan ke dunia kalau Indonesia itu hebat dan punya seorang ahli Fisika bernama Qisia!”

“Aamiin,” Ayah mengamini kata-kata Qisia. “Oh iya, ahli Fisika itu juga bisa jadi astronot, lho!”

“Masa iya, Yah?”

Ayah mengangguk-angguk kepalanya sambil menggerak-gerakkan alisnya. “Jadi, mau jadi ahli Fisika atau astronot?” goda Ayah.

Qisia berpikir sambil menatap Sungai Rhein. “Yang jelas, Qisia mau membuat Indonesia bangga dan tak ada lagi yang mengira kalau di Indonesia itu tidak ada listrik.”

Ayah dan Qisia lalu saling pandang dan tertawa bersama. Ya, Qisia memang masih tak habis pikir, kenapa zaman sekarang masih ada yang mengira Indonesia itu tak ada listrik ya?

Related Posts

2 comments

  1. Semoga cita-cita Qisia tercapai, aamiin.
    Dunia harus tau kalau ada sebuah negara cantik yang kaya raya dengan kekayaan alamnya.
    Dan juga sedang berkembang dengan pesat bernama Indonesia ��

    ReplyDelete
    Replies
    1. Bener Mbak, di luar sana ternyata banyak yang awam tentang Indonesia. Malah lebih banyak yang lebih tahu Bali 😁

      Delete

Post a Comment

Popular