Reporter Malaikat

3 comments

Profesi reporter di mata beberapa orang, sering dilihat dari sisi negatifnya. Dianggap kerap terlalu mengritik, memancing narasumber untuk menjelek-jelekkan pihak lain, atau terkadang citranya dirusak oleh wartawan amplop yang gemar menodong dana liputan, sampai dianggap terlalu usil pada kehidupan orang lain.

Namun karena reporter juga manusia biasa, ada juga lho tipe-tipe reporter yang masih memertahankan sisi-sisi humanisnya. Saya menyebutnya dengan istilah, 'reporter malaikat'!

Tulisan ini merupakan bagian dari kenangan saat dulu menjadi reporter di Batam.

Saat sebelum hingga ketika menjadi reporter, tak pernah terbersit dalam benak saya jika profesi tersebut juga bisa sebagai tangan untuk menolong orang lain yang kurang beruntung.

Mata hati saya kala itu disadarkan oleh keberadaan Aji, teman reporter sekantor yang bertugas di Tanjungpinang.

Pada awalnya saya bingung melihat berita-berita hasil liputan Aji yang dimuat di koran. Kok rata-rata mengisahkan orang-orang kurang beruntung, ya? Mulai dari anak yang menderita hidrosefalus, orang yang terkena tumor, dan derita orang-orang lainnya yang tak mampu menyembuhkan diri karena keterbatasan biaya.

Buat saya, tulisan-tulisan Aji tersebut seperti menjual cerita sedih orang lain. Kurang ada manfaatnya untuk pembaca.

Akhirnya sewaktu berkesempatan chatting dengan Aji, saya tanyakan uneg-uneg saya tersebut.

Jawaban Aji, “Ka, kenapa nggak kita jadi malaikat untuk mereka?”

Diam-diam saya renungi apa yang Aji ucapkan. Pikiran saya pada akhirnya menyetujui alasan Aji. Saya sadar, karena dari berita-berita Aji itulah akhirnya banyak pembaca koran berhati pahlawan yang menelepon ke kantor kami, meminta alamat di mana mereka bisa menemukan orang yang malang tersebut, dan berniat ingin menolong.

Lain lagi cerita kawan saya Tari dan Andres. Suatu ketika tanpa sengaja saat proses liputan, mereka menemukan seorang pria yang ditinggal istrinya dan hanya hidup dengan seorang anaknya. Sang istri ini tidak kuat hidup dengan pria tersebut karena penyakit yang diderita suaminya.

Nah, si anak dari pria inilah yang awalnya dijumpai Tari dan Andres saat sedang liputan. Setelah ditanya-tanya kenapa anak ini harus bekerja, mengalirlah cerita dari bibir kecilnya. Kedua teman reporter ini pun penasaran dan mengunjungi rumah anak tersebut.

Dulu, sang suami adalah seorang penjahit. Namun di suatu ketika, sebuah musibah membuat kaki dari pria tersebut mengalami luka. Karena infeksi, pria tersebut terpaksa harus menerima kakinya untuk diamputasi. Namun malang, langkah amputasi itu tak mampu menahan jalaran infeksi yang telah menjalar.

Di hari-hari berikutnya, pria ini harus menerima kenyataan bahwa dirinya tidak bisa apa-apa karena kakinya yang makin hari makin membusuk. Menurut Tari yang kala itu bertandang ke rumahnya, bau busuk dari luka kaki pria tersebut sangat menyengat hingga ke mana-mana.

Keesokan harinya setelah Tari meliput, berita tentang kondisi pria yang malang itu dimuat di koran oleh redaktur. “Semoga berita ini bisa membuat orang simpati dan sang istri kembali ke pria itu ya, Ka!” cetus Tari di pagi harinya sembari membaca koran dengan saya, di saat seperti biasa sewaktu kami masih berada di kamar rusun kami berdua.

Namun nyatanya, sebuah telepon memupus harapan Tari. Seorang tetangga dari pria itu mengabarkan pada Tari jika pria tersebut ternyata telah meninggal dunia.

Konon usai Tari dan Andres meliput ke rumahnya, semburan darah keluar tiada henti dari kaki pria malang itu. Saking hebatnya, semburan darah itu sampai mengotori dinding dan langit-langit dari rumahnya. Pria itu kehabisan darah, hingga menghembuskan nafas terakhirnya di rumah tanpa siapapun tahu dan dapat menolongnya. Termasuk sang anak yang saat itu sedang di luar rumah untuk mencari nafkah menghidupi dirinya dan sang bapak.

Cerita heroik juga sempat ditorehkan oleh Ferdi dan Mbak Ruri, teman reporter sekantor, terhadap Kakek Junu. Semuanya berawal dari kebingungan Mbak Ruri yang harus mencari bahan berita untuk dana BLT karena tugas dari redaktur.

Ferdi lantas berinisiatif untuk mencari masyarakat yang memang membutuhkan dana BLT di sebuah daerah di Batam yang banyak dihuni masyarakat asal timur Indonesia.

Di situlah akhirnya Ferdi dam Mbak Ruri bertemu dengan Kakek Junu, seorang kakek yang hidup sebatang kara dan ingin pulang ke daerah asalnya di bagian timur Indonesia. Sayang, sang kakek tidak memiliki biaya. Belum lagi kepapaan yang ada dalam hidup Kakek Junu, membuat kesendirian Kakek Junu tersebut benar-benar menyedihkan!

Usai berita diterbitkan, tak sedikit dari masyarakat yang menaruh simpati. Banyak orang menyumbangkan uangnya sampai-sampai, uang yang terkumpul untuk Kakek Junu itu mampu ia gunakan untuk pulang kampung.

Tak sampai di situ kekuatan dari berita mampu menggerakkan hati manusia. Sampai di bandara, seorang pria yang bekerja mengangkut barang-barang untuk penumpang langsung tergerak untuk membantu.

“Mbak, itu Kakek Junu yang diberitakan di koran itu, kan?” tanya si pria kepada saya yang saat itu juga ikut mengantar Kakek Junu ke Bandara Hang Nadim bersama beberapa rekan kantor.

Saat saya jawab iya, pria itu pun langsung spontan memberikan selembaran uang yang cukup lumayan nilainya dari sakunya dan diberikan kepada saya. Sungguh, saya tersenyum dalam hati seperti senyum lebar yang saya tunjukkan sembari mengucapkan terimakasih kepada pria dermawan tersebut.



Sebetulnya masih banyak cerita para reporter malaikat yang terkadang dulu saya dapati dari teman-teman reporter namun sayangnya tidak tercatat rapi dalam benak saya.

Cerita-cerita ini juga membuat saya tersadar, karena dengan kekuatan media untuk mengungkap cerita-cerita kurang beruntung yang dimiliki beberapa orang, ternyata menjadi penghubung dengan orang-orang di tempat lain yang memiliki hati malaikat untuk berkenan mengulurkan tangannya.


Menggalang Donasi

Jika beberapa teman dalam cerita saya tadi adalah para reporter yang membuat berita dari orang-orang yang membutuhkan pertolongan, beda lagi cerita kawan saya lainnya.

Saya dan kawan-kawan memanggilnya Menix. Ia dulu juga teman reporter satu kantor dengan saya. Cara Menix untuk menjadi pahlawan adalah dengan menggalang donasi bersama beberapa orang yang dikenalnya. 

Para donatur ini berasal dari lintas profesi. Kebanyakan adalah orang-orang yang kerap menjadi narasumber dan juga beberapa teman sekantor Menix.

Tiap bulan, Menix mengumpulkan dana dari para donatur tersebut. Dana yang terkumpul lalu ia salurkan ke anak-anak di pulau yang membutuhkan untuk biaya sekolah. Anak-anak ini kebanyakan adalah mereka yang Menix temui saat proses liputan.

Untuk sampai pada keputusan siapa yang berhak mendapatkan donasi tersebut, Menix yang kerap dibantu Ganjar, teman bagian pembuatan grafis di kantor, sampai mengunjungi anak-anak tersebut dan mencari tahu sejauh mana mereka memang membutuhkan dana tambahan untuk menyokong biaya pendidikan. Singkatnya, ada proses survei terlebih dahulu.



Menjadi Pahlawan Bersama Dompet Dhuafa

Banyak cara untuk menjadi pahlawan atau hero zaman now. Itulah yang ditawarkan oleh Dompet Dhuafa Republika, sebuah lembaga nirlaba yang mengangkat harkat sosial kemanusiaan kaum dhuafa dengan dana ZISWAF, yaitu zakat, infaq, shadaqah, wakaf, serta dana lainnya yang halal dan legal.

Dompet Dhuafa sudah berdiri selama 24 tahun, merupakan lembaga nirlaba yang bergerak di bidang kemanusiaan. Foto dimabil dari dompetdhuafa.org

Dana ini berasal dari perorangan, kelompok perusahaan atau lembaga.

Awal muasal munculnya lembaga yang pernah mendapat penghargaan Ramon Magsaysay Award di tahun 2014 ini mirip dengan apa yang pernah dilakukan teman-teman saya selama menjadi reporter di Batam. Dompet Dhuafa Republika berasal dari empati kolektif komunitas jurnalis yang banyak berinteraksi dengan masyarakat miskin, juga kerap berjumpa dengan kaum kaya.

Kini seteah 24 tahun, lembaga Dompet Dhuafa Republika telah menjadi media silaturahmi antara para masyarakat berhati pahlawan dan mereka yang membutuhkan.

Dana yang terkumpul dari donasi masyarakat dan telah tersalur kepada mereka yang membutuhkan, telah membuat banyak anak bisa mengenyam pendidikan dengan layak, para korban bencana yang membutuhkan, mengembangkan usaha para petani, dan yang lainnya.

Jangkauannya pun telah meluas tidak hanya untuk lokal Indonesia saja. Akan tetapi telah sampai ke luar negeri seperti Allepo Suriah.

Cerita tentang para reporter malaikat serta gerakan sosial Dompet Dhuafa ini bisa menjadi inspirasi bagi siapapun, bahwa menjadi pahlawan atau hero zaman now adalah hal yang mudah. Sesuatu yang berarti besar bagi orang lain, bisa berasal dari hal biasa yang digerakkan dengan keberanian luar biasa.





Related Posts

3 comments

  1. Selalu terkesima dengan orang-orang yang tergerak untuk membantu sesama padahal mereka sendiri bukan selalu orang berada. Berbagi itu memang terbukti menguatkan. Salut buat Dompet Dhuafa juga.

    ReplyDelete
  2. Merinding bayangin bapak2 yg meninggal sendirian karena kehabisan darah :(

    Seru ya bu baca betapa kerennya jadi wartawan. Gak salah dlu pernah bercita-cita jadi reporter. Wkwwkwkwkw

    Btw. Beberapa nama merasa kenal dan tetiba rindu dengan dosen-dosenku ini.

    ReplyDelete
  3. Dulu juga ada Mba saudara jauh yang kakinya macam tumor dan mesti diobati dg banyak biaya. Wartawan datang untuk motret dan cari info tentang penyakit itu dari si bapak dan istrinya. Sumbangan memang akhirnya datang ke koran itu dan diteruskan ke si bapak, walau akhirnya beliau meninggal juga karena memang udah parah.

    Adanya gerakan macam dari wartawan atau Dompet Duafa gini memang sangat membantu banget sih. Terkadang orang juga bingung mau bersedekah ke siapa yang paling membutuhkan.

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular